Sabtu, 30 Juli 2016

The Sapphires, Perjuangan Wanita Aborigin

Sumber foto: Kingstonarts.com.au

Sumber foto: Kingstonarts.com.au

Film yang diangkat dari kisah nyata memang selalu menarik. Kita bisa belajar dari sejarah para pelaku tersebut.
Begitu juga dengan film The Sapphires yang merupakan film drama musikal berbalut komedi. KIsah The Sapphires terinspirasi dari kisah nyata penulis naskah film tersebut, Tony Briggs.
Saat itu, ibunda Tony, Laurel Robinson beserta adik dan sepupunya harus tampil sebagai penyanyi dan menghibur prajurit yang sedang berperang di Vietnam.
Film ini sebenarnya diangkat dari pertunjukan drama musikal Australia dengan judul yang sama namun diproduksi 2004. Pementasan sempat diproduksi lagi pada 2010 dan akhirnya diangkat menjad film musikal pada 2012.
Kisah film tersebut menceritakan empat wanita Aborigin yang senang bernyanyi. Dari sebuah kota kecil di pelosok Australia, mereka menggapai mimpi menjadi bintang besar.
Awalnya mereka mengikuti beberapa audisi musik. Namun mereka kalah hanya mereka tidak disukai sebagai penyanyi kulit hitam. Maklum mereka tampil di hadapan warga kulit putih.
Film yang berlatar belakang saat perang Vietnam pada 1968 ini mengisahkan kakak beradik wanita, Gail (Deborah Mailman), Cynthia (Miranda Tapsell), dan Julie (Jessice Mauboy). Lalu muncul Kay (Shari Sebbens) yang merupakan sepupu dari ketiga bersaudara ini.
Di tengah cerita dikisahkan Kay sempat hidup di kota dan dia bukan seorang kulit hitam asli Aborigin meski berdarah Aborigin.
Saat audisi di kota, penampilan empat bersaudara ini menarik Dave Lovelace (Chris O’Dowd) yang menjadi pemandu acara sekaligus pemain piano meski kalah dalam audisi.
Tak putus asa dari kekalahan, Cynthia yang selalu periang memiliki selebaran audisi penyanyi di Vietnam. Ia pun tidak mengetahui apa itu VIetnam dan di mana lokasinya. Yang penting ia berniat ke sana dengan cara apapun.
Bekat polesan Dave, keempat saudara ini berhasil berangkat ke Vietnam meski keluarga sempat tak mengizinkan. Alasan mengapa judul film ini The Sapphires juga secara jelas diungkap di sana.
Awalnya mereka hanya bernyanyi di sebuah klub malam. Namun lama-lama, mereka harus menghibur prajurit di tengah medan peperangan.
Konflik mulai muncul terkait percintaan dengan prajurit hingga ketertarikan dengan Dave. Bahkan mereka hampir ditembak prajurit Vietnam karena memasuki daerah terlarang.
Beruntung Kay ternyata bisa berbahasa Vietnam dan mereka lolos dari kepungan. Konflik pun muncul karena uang hasil mereka bekerja justru dipakai berjudi oleh Dave. Gail sebagai yang tertua harus melindungi adiknya karena turut bertanggung jawab atas kepergiannya ke Vietnam.
Adegan saat mereka tersesat di hutan dan terkena kepungan tentara Vietnam. Sumber foto: filmmisery.com

Adegan saat mereka tersesat di hutan dan terkena kepungan tentara Vietnam. Sumber foto: filmmisery.com

The Sapphires diidentikkan dengan film Dreamgirls karena beberapa konten di dalamnya. Namun Dreamgirls lebih mengesankan keglamoran hidup.
Sedangkan The Sapphires hanya menceritakan kisah wanita Aborigin yang menggapai mimpi menjadi penyanyi dan menemukan kisah cinta mereka.
Salah satu adegan film antara Kay dan kekasihnya yang menjadi perawat prajurit. Sumber foto: themreporter.blogspot.com

Salah satu adegan film antara Kay dan kekasihnya yang menjadi perawat prajurit. Sumber foto: themreporter.blogspot.com

Film ini pun identik dengan drama musikal Pitch Perfect bernuansa lipsync musik. Beragam jenis musik khususnya soul dan country hampir memenuhi setiap alur. Lagu-lagunya pun enak dengan balutan komedi dari berbagai tokoh.
Tingkah polah keempat saudara dan Dave serta prajurit-prajurit ini mendatangkan tawa. Namun tak terkadang memicu kesedihan akibat konflik ras, kulit putih dan kulit hitam.
Bahkan ada adegan prajurit kulit putih enggan diobati perawat kulit hitam. Ia sempat mengatakan tak mau disentuh anjing gila. Sadis.
Saat itu, konflik ras begitu mengemuka. Masyarakat berkulit hitam seakan tidak dihargai. Bahkan dalam film juga diberi cuplikan Martin Luther King yang memperjuangkan kesetaraan ras.
Film ini memiliki alur yang mudah ditebak meski saya punya asumsi cerita keempat wanita ini diperkosa prajurit dan pulang tinggal nama. Namun ternyata akhirnya tidak begitu.
Lagu-lagu yang dinyanyikan begitu mengaduk emosi, khususnya lagu Ngarra Burra Ferra. Lagu yang dinyanyikan secara acapella tersebut khas suku Aborigin Australia.

Sebagai film drama musikal, kisah cerita ini cukup mengaduk emosi namun justru lebih banyak memacu tertawa karena adegan sang pemain. Film ini menjadi paket hiburan memuaskan.
By the way, saya menonton film ini di Kedutaan Besar Australia, Jakarta bersama komunitas blogger. Kebetulan saya mengetahui agenda ini dari teman, Timothy Pawiro.
Sejak bulan ini, Australia mulai terbuka untuk umum dengan menghadirkan nonton bersama atau kegiatan bernuansa anak muda di kantor Kedutaan Besar Australia, Jakarta.
Lokasi kantor tersebut di Patra Kuningan, tidak jauh dari kediaman Presiden Habibie. Nah, bagi yang kangen atau tertarik dengan budaya Australia bisa mengikuti kicauan di twitter, facebook, atau webnya ya. Apalagi yang tertarik beasiswa untuk kuliah di sana.
Suasana menjelang nonton bareng di Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta, Sabtu (30/7). Sumber foto: Dok pri

Suasana menjelang nonton bareng di Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta, Sabtu (30/7). Sumber foto: Dok pri

Purnululu Theatre, lokasi nonton bareng The Sapphires. Dok pri

Purnululu Theatre, lokasi nonton bareng The Sapphires. Dok pri

Tembok bertuliskan Kedutaan Besar Australia. Sumber foto: Dok pri

Tembok bertuliskan Kedutaan Besar Australia. Sumber foto: Dok pri



via didikpurwanto.com

Tidak ada komentar: