Minggu, 29 Agustus 2010

Rejeki Tetangga Lebih Hijau

Peribahasa rumput tetangga lebih hijau memang fenomenal, terutama untuk menyebut keadaan tingkat kesejahteraan orang lain. Hal itulah yang melatarbelakangi beberapa temanku untuk curhat barusan.

Dalam perjalanan karirnya selama tiga tahun, ternyata tidak ada perubahan berarti terutama dalam peningkatan status hingga urusan duit alias gaji.

Alhasil, dalam pembicaraan tadi cuma mengeluh mau pindah kemana dan mau cari kerjaan apa lagi. Belum lagi kita juga ngobrolin status teman yang udah married, sampe ada promosi hingga liputan ke luar negeri. Trus kita kapan ya?

Mendengar percakapan "mengeluh" dari mereka, gw ingat pernyataan Mario Teguh Ahad kemarin. Rumput Tetangga Memang lebih hijau. Dan setiap tingkah laku tetangga kita, kita pasti iri. Yang pasti lagi soal materi.

"Ah..ternyata kita tidak pernah melihat tetangga di sekeliling kita, yang mungkin keadaannya jauh di bawah kita. Kita lupa bersyukur," kata motivator ulung itu.

Kita yang sudah mengecap kesuksesan (walau masih minimal), selalu melihat keadaan orang di atas kita. Sehingga kita selalu kekurangan. Padahal kita diajarkan untuk melihat tetangga yang kesusahan, bukan mengejar materi sebanyak-banyaknya tapi itu malah tidak berguna bagi kita.

Mario juga bilang, mendingan kita sedikit harta daripada banyak harta tapi tidak membuat bahagia. Walaupun kita juga sebenarnya dituntut untuk kaya agar bisa bermanfaat untuk tetangga kita.

Dalam doa yang selalu kita panjatkan, kita selalu meminta untuk menutupi apa yang ada di kekurangan kita. Misalnya tambah gaji, tambah cantik atau ganteng, punya mobil baru dan segala macam materi lainnya. Emangnya Tuhan akan langsung menjatuhkan rejekinya langsung? mending tanya aja ama pak Tarno, bin salabin jadi apa..prok..prok..prok!!!

Padahal seharusnya kita meminta kepada Tuhan untuk bisa melebihkan apa yang kita punya (tapi bukan materi). Misalnya tambahan kemampuan kecerdasan, sehingga bisa menciptakan rejeki baru.

Ah..rasanya kita emang susah untuk belajar ikhlas. Apalagi menerima kekurangan kita. Padahal Tuhan telah memberikan rejeki kita sendiri, hanya kita saja yang dituntut untuk berjuang menjemputnya. Seberapa keras usaha kita menjemput rejeki yang sudah dijanjikan.

Ingat, bisa saja Tuhan langsung mengabulkan untuk memberi rejeki kepada orang yang tidak baik. Namun sebenarnya itu hanya hukuman yang ditangguhkan padanya. Maksud TUhan adalah seberapa bersyukur dia atas rejeki yang sudah dilimpahkan kepadanya?

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.(Ibrahim:7)

Selasa, 17 Agustus 2010

Menjadi Wartawan Itu Pilihan

Saya tersenyum setelah melihat status teman di Facebook yang menyatakan bahwa untuk menjadi wartawan masih diperlukan surat ijin dari orang tua. Ahhh..ini medianya yang tidak percaya dengan pelamar kerja atau medianya tidak mau bertanggung jawab saat ada masalah di kemudian hari?

Mengutip status dari Mas Satrio Arismunandar,"Saya tersenyum membaca iklan di Harian Republika hari Senin (4 Oktober 2010), tentang lowongan menjadi reporter/fotografer. Pasalnya, ada klausul yang menyaratkan adanya "surat izin dari orangtua/wali untuk menjadi reporter/fotografer."

Wartawan kok diperlakukan seperti "anak-anak?" Bukankah mereka seharusnya diperlakuikan sebagai orang dewasa, yang berani memilih profesi dan bertanggung jawab atas pilihannya itu?

Hahahaha..pertanyaan menggelitik dan sampai saat ini saya belum bisa menjawabnya. Sepertinya hanya Republika yang mensyaratkan surat ijin dari ortu tersebut. Atau mungkin ada media lain yang masih memakai cara seperti ini?

Hmmm..selama empat tahun di media dan sudah berada di dua media massa berbeda baik nama media maupun lokasi, ternyata saya belum pernah mengalaminya. Ahhh..biar saja. Mungkin profesi ini memang bukan impian dan harapan dari orang tua kepada anaknya.

Orang tua ini berkeinginan agar anaknya bisa menjadi PNS, bergaji tetap, berangkat pagi dan pulang sore serta mendapat gaji ke-13. Kalau wartawan? siapa yang dapat menjamin? itu justru kebalikannya...

Bahkan Mas Satrio ini juga menulis status lanjutan..

"Anda WARTAWAN? Jika istri Anda suka cemberut atau melarang Anda pulang malam, dan menghambat pelaksanaan tugas kantor, suruh dia baca ini: "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas wartawan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (alias Rp500 juta)."

Oalaahhhh..gaji setahun aja kalau dikumpulin ga sampai segitu kok...hehehe..