Film
menjadi media paling efektif untuk mengingat kembali apa yang telah
berlalu. Termasuk kenangan tragis yang terjadi 10 tahun lalu di
Indonesia, tragedi Mei 1998, Semanggi I dan Semanggi II. Rangkaian film
pendek yang dibuat oleh 10 pekerja film dari beragam latar belakang
(dokumenter, feature,film pendek, dll), musisi dan pekerja seni lainnya
ini bergabung secara swadaya untuk memeringati satu dekade reformasi
(1998-2008).
10
film pendek yang dilatarbelakangi oleh peristiwa Mei ’98 ini ditujukan
sebagai upaya membuka dialog terutama dengan kalangan muda
(pelajar/mahasiswa, umum) mengenai penolakan untuk melupakan sejarah
serta pemberdayaan masyarakat untuk menyampaikan sesuatu (dalam hal ini
melalui medium audio visual).
“Dalam
rekaman film ini kita dapat melihat dampak dari gerakan sosial
demonstrasi mahasiswa, kerusuhan, penjarahan serta pembakaran ibu kota
serta pelengseran mantan Presiden Soeharto tentang penuntutan reformasi
di mana-mana. Ada orang yang cuek terhadap tragedi tersebut dan ada pula
yang tidak ingin melupakannya,” ungkap Prima Rusdi, penggagas film
pendek bersama tentang jejak reformasi 9808 di Kineforum, Studio 1
Teater Ismail Marzuki, (13/5).
Lanjut
penulis skenario Garasi (2006), Banyubiru (2005), Eliana-Eliana (2002)
dan salah satu penulis cerita “Ada Apa Dengan Cinta”(2002) ini
berinisiatif untuk mengumpulkan pekerja film dalam kompilasi program
9808 yang secara khusus menceritakan kembali tentang peristiwa Mei 1998.
Terlebih banyak di antara mereka yang baru pertama kali melakukan
pemutaran bersama dan bertema sosial. Apalagi rangkaian film ini akan
diputar di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang dan Kuala Lumpur.
Anggun
Priambodo, lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2002, jurusan
Desain Interior ini menyuguhkan “Sedang Apa Saya Saat Itu?”. Pembuat
klip musik Nidji “Arti Sahabat” tersebut menelusuri kisah sejumlah
“orang biasa” setelah satu dekade reformasi berlalu. Ia bertutur melalui
foto-foto mereka saat sedang berada dalam beragam kegiatan saat Mei
1998. Ariani Halim, lulusan School of the Art Institute of Chicago
dengan latar belakang arsitektur dan seni murni ini banyak menyoroti
tentang arti sebuah nama. Identitas Ariani yang keturunan Cina memberi
cara pandang lain terhadap makna sebuah nama Cina. Dahulu presiden
Suharto mengeluarkan Keppres nomor 127/U/Kep/1996 yang mewajibkan WNI
etnis Cina untuk mengadopsi nama bernada Indonesia, misalnya Liem
menjadi Halim dan Lo, Loe atau Liok menjadi Lukito. Ariani yang banyak
berpartisipasi di dalam sejumlah festival seni maupun film di Eropa,
Amerika Serikat, Asia, dan Australia tersebut memberikan film kocak
namun penuh kontradiksi. Lewat film “Sugiharto Halim”, Ariani
menceritakan perlukah seseorang memakai nama “asli”, bisa “dijual” serta
menyamarkan identitas di balik sebuah nama.
Masih
dengan nada “Cina”, Lucky Kuswandi mengajak penonton dengan tradisi
imlek yang sempat dilarang di Indonesia. Dengan gaya bercerita dialog
tanpa banyak gambar, Lucky yang sudah memutar film-film pendeknya di
sekitar 30 film festival di manca negara seperti 59th Cannes Film
Festival (Short Film Corner) dan 32nd Seattle International Film
Festival tersebut banyak mengingatkan tentang perjalanan personal
keunikan tradisi imlek baik jeruk mandarin, barongsai serta “tanggal
merah” yang selama ini dinantikan. Film “A Letter of Unprotected
Memories” ini membidik Imlek yang sempat 33 tahun dilarang oleh
pemerintah dan hingga kini malah menjadi salah satu hari libur nasional.
Ucu
Agustin, lulusan IAIN Jakarta yang saat ini mengelola sebuah komunitas
audio visual “GambarBergerak” menjadi salah satu pembuat film yang
langsung bersinggungan dengan keluarga korban tragedi Mei 1998. Film
“Yang Belum Usai” banyak mengangkat tentang kesibukan keluarga Wawan,
mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya yang tewas dalam
penembakan tragedy Semanggi Mei 1998. Ucu berhasil menangkap perjuangan
Ibu Sri Sumarsih, ibunda Wawan yang hingga saat ini terus menuntut
keadilan dan terus bertekad melanjutkan perjuangan putranya demi
supremasi hukum di negeri ini. Bahkan tanpa diduga, Arif Triadi, ayah
Wawan sempat menyaksikan film tersebut.
Selain
itu, masih ada Wisnu Suryapratama dengan “Kucing 9808, Catatan (Mantan)
Demonstran”, Herman Kumala Panca dengan “Televisi”, “Kemarin” karya
Otty Widasari, “Huan Chen Guang” dari Ifa Isfansyah, “Bertemu Jen” oleh
Hafiz, “Trip To The Wound” garapan Edwin serta “Sekolah Kami, Hidup
Kamii” tentang pembongkaran kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak
sekolah di sebuah SMA di Solo oleh murid-murid kelas tiganya.
“Dengan
film ini, kita tidak hanya merawat ingatan akan kejadian-kejadian itu,
tapi bisa juga menimbang ulang apa yang bisa kita perbuat dalam kerangka
gagasan yang serupa,” sambut Lisabona Rahman, manajer program
Kineforum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar