Keris
bukan hanya sebagai senjata sejak jaman penjajah. Namun keris sudah
menjadi warisan yang memiliki arti penting bagi pemilik maupun
kolektornya.
Keris
sebagai warisan peninggalan nenek moyang Indonesia telah diakui oleh
UNESCO (badan PBB yang mengurusi pendidikan, sekolah dan anak).Bali
misalnya, sebagai provinsi yang masih memegang adat istiadat dan penuh
religi memiliki keunikan keris yang tidak ditemukan di tempat lain.
Menurut
Bambang Eko Priyono selaku pinisepuh Sanggar Kanjeng Purwo yang menjadi
kolektor keris di Bali mengatakan keris Bali memiliki panjang hingga 60
cm. Begitu juga dengan Luk (lekuk keris) yang ganjil dan lurus dengan
arti tersendiri. Luk tiga menggambarkan perlindungan, Luk lima
menggambarkan kebaikan (yang diartikan dengan pandhawa) dan Luk tujuh
yang berarti sengkelat dan biasa digunakan oleh raja-raja.
Pria
yang telah dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung Purwo Saputro
oleh Istana Paku Alaman Jogjakarta ini juga mengungkapkan keris di
masyarakat Bali masih punya kedudukan tinggi dalam agama dan adat.
Sehingga keris merupakan salah satu kebutuhan keluarga Hindu Bali. Di
samping sebagai senjata, keris juga dianggap sebagai benda yang
mempunyai kekuatan spiritual sehingga bisa menjadi pelindung ketika
berpergian, untuk usaha, tanda pengabdian kepada raja, untuk menjaga
keselamatan rumah tangga, untuk sarana penyembuhan seorang dukun dan
khususnya untuk upacara keagamaan.
Dari
sekian banyak fungsi keris, Empu di Bali lebih mementingkan manfaat
spiritual keris (kekuatan magis) dari pada karya seni (keindahannya).
Misalnya seperti bagian yang paling sulit dibuat seperti pamor. Bentuk
pamor (hiasan pada batang keris) bahkan lebih menekankan pada kekuatan
magis yang dimilikinya. Contohnya pamor blarak sineret yang berarti
masyarakat harus mengikuti perintah pemimpin. “Ini membuktikan keris
sebagai bukti prestisius dari sebuah karya seni seorang Pande atau Empu.
Bukan senjata sembarangan,” ujar Bambang yang ditemui di Sanggar
Kanjeng Purwo jalan Danau Buyan 5 Sanur.
Tidak
hanya memiliki kekuatan magis, balutan sarung yang menutup keris malah
memberi kesan penampilan mewah. Penampilan luar seperti wadah (rangka),
pelokan (pangkal wadah), hulu dan cincin ujung hulu justru dibuat dari
emas, perak, gading, kayu langka yang dihiasi dengan ukiran dan batu
permata hingga beberapa karat. Namun hanya keris untuk tokoh-tokoh
masyarakat dan agama saja yang dibuat bagus. Baik sarung maupun
bilahnya.
Mangku
Ketut Sandi, salah satu perajin dekorasi keris mengatakan saat ini
hanya ada enam perajin di seluruh Bali. Kekurangan perajin keris di Bali
lebih disebabkan karena tidak sembarang orang bisa menekuni profesi
tersebut. Empu keris pada umumnya berpangkat pembantu pendeta (mangku)
atau malah pendeta.
Dalam
membuat keris pun, empu harus menjalani laku tapa dan macam-macam
latihan rohani kejawen. Selain itu membuat keris klasik atau tradisional
yang sesuai dengan pribadi pemesan dan punya "isi" memerlukan waktu
yang lama. ”Setahun mungkin hanya bisa membuat dua hingga tiga buah
keris dengan biaya mahal,” tambah Ketut Sandi yang pernah menjadi
pemangku Pura Pande Dalem Majapahit banjar Tatasan Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar