Perjalanan wisata tentu menyisakan sejuta kenangan, baik duka maupun kebahagiaan. Kenangan itu bisa kita jadikan pembelajaran di masa mendatang.
Begitu pula yang ku alami saat perjalanan ke Shanghai dan Hong Kong beberapa waktu lalu. Saat itu kita berangkat berempat, dua cewek dan dua cowok.
Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng ke Hong Kong dan dilanjutkan ke Shanghai nyaris tak ada kendala. Kita sampai dengan selamat di sana.
Masalahnya ada di saat balik ke Jakarta. Saat itu kami mendapat empat kali perjalanan karena penerbangan langsung ke Jakarta tidak ada. Tiket yang kami terima adalah penerbangan Shanghai-Hong Kong-Singapura-Jakarta.
Penerbangan dari Shanghai ke Hong Kong lancar. Yang menjadi masalah ada di Bandara Hong Kong.
Masalah satu lagi, satu teman kami yang biasa berwisata ke luar negeri dan menjadi pemandu kami saat di Shanghai harus memercepat penerbangan ke Jakarta lebih dulu karena sang anak sakit dan pembantu tidak bisa mengatasi sendirian. Kebetulan suaminya juga sedang bertugas ke luar negeri.
Kami berempat tiba di bandara Hong Kong sekitar dua jam sebelum penerbangan. Kami pun langsung check-in karena antrean penumpang tak panjang.
Melihat kami datang berempat dan hanya satu yang mengajukan perubahan penerbangan, petugas loket tersebut menawarkan hal yang sama namun berbeda pesawat.
Akhirnya kami sepakat memajukan jadwal penerbangan dari semula pukul 4 menjadi pukul 2 waktu setempat. Alasannya, kita akan memiliki banyak waktu saat tiba di Singapura sebelum akhirnya melanjutkan penerbangan ke Jakarta meski satu teman kami berbeda pesawat.
Kami pun diminta segera langsung ke ruang penerbangan karena pesawat akan terbang. Seluruh koper kami masukkan ke bagasi, kecuali barang-barang penting yang kami bawa ke tas kecil. Kami pun langsung menuju ruang pemberangkatan karena jadwal terbang tersisa 15 menit lagi. Di situ kami berpisah dengan satu teman cewek kami.
Mungkin kami terbiasa santai waktu di Indonesia. Apalagi saat di bandara juga sambil melihat-lihat isi bandara yang sebetulnya cenderung mirip sebuah pusat perbelanjaan besar. Estimasi kami, waktu 15 menit akan cukup menuju ruang pemberangkatan.
Kami pun sampai di ruang pemberangkatan lima menit sebelum jadwal tersebut berakhir. Namun apa yang terjadi?
“Maaf, pesawat Anda baru saja terbang. Anda telat sekali,” kata petugas dengan bahasa Inggris tidak lancar.
Kami pun tidak terima dengan penjelasan tersebut dan kami meminta penjadwalan ulang.
Si petugas ngotot bahwa kami harus membeli tiket kembali. Kami pun tidak terima karena sebetulnya petugas loket yang mengubah jadwal kami sebelumnya dan menjanjikan jadwal tersebut cukup.
Kami cukup menyita perhatian penumpang lain karena kami dianggap bukan warga lokal. Apalagi satu temanku yang menjadi petinggi di sebuah perusahaan memaki-maki petugas tersebut karena kopernya sudah berangkat bersama pesawat tadi.
Dengan debat panjang, aku sempat berkoordinasi dengan teman yang berbeda pesawat tadi. Kebetulan kami sempat membeli kartu SIM lokal sehingga kami bebas telepon tanpa takut roaming.
“Tenang saja. Nanti kalau ada masalah lagi, lekas lapor ya. Sementara ikuti dulu petugas loketnya,” kata temanku.
Kami digiring melalui berbagai pintu khusus dan kembali ke bagian loket penjualan tiket. Beberapa petugas sempat mengobrol dengan bahasa Mandarin yang kami juga tidak tahu apa artinya. Namun ada petugas yang memandang aneh ke kami bertiga.
“Mungkin kami dianggap Tenaga Kerja Indonesia (TKI),” pikirku.
Di China, TKI cukup banyak, khususnya Hong Kong dan berbagai kota di China. Kami berpikir mungkin TKI di sini cukup sering berbuat ulah. Aku cuek dengan berbagai pemeriksaan tersebut karena kebetulan aku tak membawa koper dan seluruh barang bawaan ku taruh dalam sebuah tas besar.
Akhirnya kami tiba di loket penjualan tiket dan petugas saling berbicara kembali dalam bahasa Mandarin. Mereka menyatakan, kebetulan tiket penerbangan sudah penuh. Tapi mereka akan memberi kabar saat ada kursi kosong berjumlah tiga orang menuju Singapura.
Aku ingat uang yang tersisa di dompet hanya sedikit, kurang dari HK$ 100. Bila harus membeli tiket lagi, tentu saja tidak cukup. Untuk ambil uang dari ATM pun tidak bisa karena ATM kami tidak mendukung pengambilan uang dolar Hong Kong, apalagi ini di luar negeri.
Aku kembali menghubungi temanku dan beruntung belum berangkat. “Tenang saja. Nanti aku bantu ganti uang tiket yang kamu pakai,” katanya sambil menenangkan kami.
Masalahnya, ini bukan soal penggantian uang tiket. Uang yang ada di dompet kami hanya terbatas dan mungkin hanya bisa dipakai untuk membeli satu penerbangan pulang. Itupun baru sampai ke Singapura.
Apalagi kami harus kehilangan tiket penerbangan lanjutan dari Singapura ke Jakarta yang kebetulan sudah dijadwalkan pukul 16.30 waktu Singapura.
Akhirnya kami pasrah menunggu di depan loket sambil terus menanyakan,” any free seat for three passengers? Mereka hanya menjawab NO.
Kami pun sambil duduk di depan loket seperti anak ayam kehilangan induk. Beberapa penumpang yang check in pun sempat melihat kegusaran di wajah kami. Seolah kami ditelantarkan tanpa kompensasi apa pun.
Akhirnya setiap 15 menit sekali kami bertiga bergantian menanyakan kabar kursi kosong. Langkah itu kami lakukan dari pukul dua hingga pukul lima sore. Hopeless.
Pukul enam sore pihak maskapai menjanjikan penerbangan selanjutnya tapi esok hari karena kebetulan malam itu ada badai sehingga penerbangan malam ditiadakan. Aku dan satu teman cewek menyepakatinya daripada tidak bisa pulang.
Masalahnya, satu teman cowok yang kebetulan petinggi sebuah perusahaan ini tidak terima dengan tawaran tersebut. Apalagi koper dengan segala isinya sudah terbang pada pesawat pukul dua siang tadi. Entah bagaimana nasib kopernya itu tadi di Singapura.
“Masa kita mau tinggal di bandara menunggu besok? Nanti bagaimana kita makan? Tidur dan sebagainya, terutama mau berganti pakaian. Kalian sih enak masih bawa pakaian. Pakaian saya kan sudah dimasukkan di koper. Ini saya cuma bawa ponsel dengan uang kurang dari HK$ 500,” kata temanku yang jadi petinggi perusahaan itu.
Kami berdua pun diam. Bingung. Si petugas itu pun juga kebingungan karena ternyata petugas di sana tidak begitu lancar berbahasa Inggris. Mati lah kita.
Namun bagaimana akhir ceritanya?
Aku memandangi seorang cewek China bermata sipit dan berbicara dengan petugas maskapai tersebut. Mereka terlibat pembicaraan serius dengan memakai bahasa Mandarin.
Aku seperti melihat percakapan film drama mandarin dari dialog yang mereka lakukan. Akhirnya percakapan itu selesai dan cewek China tersebut duduk di kursi dekatku. Dia pun berbicara dengan seseorang lelaki namun memakai bahasa Indonesia.
Akhirnya aku menemukan ide.
“Maaf mbak dari Indonesia?,” tanyaku.
“Iya pak. Saya dari Jakarta,” jawabnya ramah. Nah, dari situ percakapan kami berlanjut dengan berbahasa Indonesia.
“Saya dari Mangga Dua,” katanya lagi. “Oalah ternyata kita satu kotamadya. Saya tinggal di Salemba mbak,” kataku.
Aku pun ternyata baru tahu karena cewek China tadi kebetulan juga bernasib sama dengan kami. Cuma dia berangkat dari Shenzhen menuju Singapura melalui Hong Kong. Penerbangannya dibatalkan dan harus berganti pesawat.
Akhirnya kami memiliki teman yang senasib. Aku pun meminta menanyakan kejelasan kami di bandara ini. Bagaimana kami harus tinggal, makan, dan terbang besok.
Cewek China yang ternyata dari Mangga Dua tadi ku minta berbicara lagi dengan petugas maskapai. Akhirnya kami mendapat tawaran menginap di salah satu hotel di dekat bandara. Semua biaya ditanggung maskapai.
“Tapi bagaimana kita ke hotel tersebut? Di mana tempat menginapnya? kataku.
Cewek China tadi lantas menemui kembali petugas maskapai. Percakapan bahasa Mandarin kembali terjadi.
“Tenang. Semua ditanggung mereka. Ada shuttle bus yang menjemput kita ke hotel,” katanya.
Alhamdulillah. Ternyata masih ada orang baik di sini yang mau membantu kita, orang-orang yang tak berdaya di negeri orang. Ahh kamu lebay…
Akhirnya kami menginap di salah satu hotel dan kami sempat berbincang dengan cewek China asal Mangga Dua tadi. Dalam perbincangan tersebut, kami sepakat naik taksi bersama dan patungan demi menuju ke bandara. Beruntung jarak hotel ke bandara tak jauh dan hanya sekitar 15 menit. Kami masih takut kejadian ketinggalan pesawat kembali terulang.
Alhasil, kami pun berpisah di bandara tersebut karena penerbangan berbeda meski tujuan sama, Jakarta.
Opppsss..hingga kini aku tak tahu nama cewek China asal Mangga Dua tadi. Namun kebaikanmu akan tetap selalu di hati. Sungguh perjalanan ke Shanghai ini memberikan manfaat berarti.
Benar kata mbak Aulia Halimatussadiah yang akrab disapa Ollie dalam bukunya Passport to Happiness. Dunia itu ibarat buku. Bagi yang belum berkeliling dunia seolah hanya membuka satu halaman dari ribuan halaman yang harus dibaca. Selamat melakukan perjalanan dan jangan sampai ketinggalan, seperti saya.
via
didikpurwanto.com