Selasa, 16 Agustus 2011

Jakob Oetama: Juragan Media Indonesia

Di tangannya, media menjadi sumber kekayaan bagi diri dan menyejahterakan karyawan yang bekerja padanya. Lebih dari empat dekade mengelola media, lelaki kelahiran 27 September 1931 ini percaya bahwa bisnis koran (media cetak) tidak akan mati, meski serbuan media lain seperti internet dan televisi kian gencar.
Jakoeb Oetama

Pertama kali di media, Jakob diminta untuk menjadi Pemimpin Redaksi majalah Intisari, konsep majalah yang meniru Readers Digest. Dua tahun kemudian, karirnya melejit sehingga diminta mengelola koran Kompas.

Baginya, apa yang disajikan televisi dan internet itu sebagai media tontonan. Namun baginya, media tersebut itu belum cukup. Dan surat kabarlah yang mengisi kekosongan itu dengan sajian lebih mendalam, tetapi dengan formula yang masih tetap menghibur.

Memang Kompas Group dahulu memiliki stasiun televisi TV7. Tapi Kompas terlalu dini menyapihnya dan melepas ke Group Para milik Chairul Tanjung yang sebelumnya memiliki TransTV. Akhirnya TV7 itu diubah menjadi Trans7. Kini, Kompas harus memulai lagi bisnis televisinya dengan membuat KompasTV.

Jakob sendiri menggambarkan dirinya sebagai seorang guru yang belajar sejarah dan belajar jurnalistik. Karena bakat, sehingga mampu membawa dan mengoranisir rekan-rekannya untuk bekerja dalam sebuah media massa, sampai sekarang ini.

Setelah ditinggal sobat seperjuangan Petrus Kanisius Ojong yang meninggal pada 1980, Jakob sendirian menghidupi Kompas.

"Saya nggak tahu bisnis. Tapi saya tahu diri kalau saya nggak tahu. Cuma barangkali otak saya dikaruniai kecerdasan yang memadai sehingga dengan kemauan belajar ya bisa menangkap apa yang diperlukan."

Sempat mencicipi sebagai karyawannya, saya melihat kunci keberhasilannya terletak pada semangat untuk bekerja secara all out alias tidak setengah-setengah. Dan itulah yang diterapkan pada semua karyawannya.

Tidak ada komentar: