Gerhana Matahari Total menjadi fenomena langka. Apalagi tidak setiap tahun terjadi, khususnya di Indonesia.
Selama saya hidup, saya pernah merasakan Gerhana Matahari Total pada 1983. Saat itu, seluruh masyarakat membawa keluarganya menginap di rumah kepala dusun yang notabene memiliki areal luas.
Tidak ada kegiatan apapun di dalam rumah kepala dusun, melainkan hanya diam. Aku yang saat itu berumur setahun masih ingat benar pengalaman tersebut.
Sebelum pergi ke rumah kepala dusun, bapak pun memukul pohon kelapa di pekarangan rumah. Kebetulan kami memiliki empat pohon.
Harapannya, pohon kelapa tidak busuk dan bisa berbuah sebagaimana mestinya. Ada mitos juga, bila ada buah kelapa yang jatuh dari pohon harus diwaspadai.
“Takutnya itu glundung plecek atau pecek (sejenis makhluk halus yang hanya kepala saja. Saat kita memegang buah kelapa tersebut akan muncul wajah jelek dan menjulurkan lidah),” kata bapakku.
Saya pun hanya terdiam saat itu karena tidak mengerti apa-apa. Saya hanya berharap keluarga aman dan tidak ada bencana.
Tak hanya itu, ibuku pun mengandangkan ayam dan sapi. Kebetulan suara hewan tersebut bersaut-sautan jelang gerhana. Saya pun tidak mengerti bahasa hewan sehingga tak mengetahui maksud saut-sautan suara mereka.
Suasanya pun aman selepas gerhana matahari kembali normal. Namun bapak kembali memeriksa hewan peliharaan kami, apakah masih genap ataukah ada yang berkurang.
Begitu juga dengan buah kelapa. Bila ada buah kelapa yang jatuh tak jauh dari pohon akan berusaha dilihat bukan sebagai glundung plecek seperti yang disampaikan tadi.
Caranya, bapak membawa sebilah kayu dan memukulkan kepada buah kelapa yang jatuh hingga berguling-guling. Bapak memastikan agar tidak ada wajah dalam buah kelapa tersebut.
Saat saya tanya kembali mengenai ritual tersebut pada gerhana matahari total tahun ini, bapak pun enggan melakukan hal serupa. “Dulu bapak dibodohi karena masyarakat lain juga melakukan itu. Daripada nanti bapak dikucilkan masyarakat,” kata bapak.
Tahun ini, setelah 33 tahun saya lahir, gerhana matahari total kembali terjadi. Awalnya saya sudah siap-siap ikut lomba agar bisa menang dan berkesempatan melihat gerhana langsung di berbagai daerah. Kebetulan ada lomba dengan hadiah traveling ke lokasi yang dilewati gerhana.
Namun dua bulan menjelang deadline tulisan, kerjaan kantor begitu menyibukkan aktivitasku. Tak satupun tulisan berhasil saya buat. Pasrah. Peluang tersebut pun hangus.
Saya pun berharap bisa melakukan pemantauan dari Planetarium yang ada di Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat untuk gerhana tahun ini. Setiap ada fenomena terkait gerhana, Planetarium selalu membuka kesempatan kepada warga setempat untuk melihat langsung.
Tahun lalu saya berkesempatan melihat fenomena tersebut dan berbincang dengan komunitas astronomi setempat.
Namun karena jumlah teropong terbatas, masyarakat pun bergantian melihat fenomena gerhana melalui teropong. Jika tidak kebagian, masyarakat bisa menonton bersama melalui sebuah layar besar.
Namun lagi-lagi masyarakat tidak tertib untuk menonton. Semua berdiri melihat di depan layar besar. Bagi masyarakat yang pendek, jangan harap bisa melihat meski dari jarak dekat.
Alhasil, banyak masyarakat menunggu bila ada yang keluar dari ruang utama atau teropong utama.
Tahun ini sebenarnya saya sudah menyiapkan peralatan untuk mendapatkan foto fenomena gerhana matahari meski tidak 100 persen terlihat dari Jakarta.
Namun sejak Senin malam, kondisi badan rasanya tidak memungkinkan bergerak. “Makan saja susah, selalu muntah. Belum lagi badan panas dingin,” kataku.
Kebetulan kantorku meliburkan karyawan sehari sebelum tanggal merah. Ini saya gunakan untuk beristirahat total agar keesokan paginya bisa melihat gerhana matahari total.
Namun pukul 02.00 WIB dini hari pada Rabu (9/3), kondisi badan sudah tidak bisa ditolerir. Tidur susah, makan pun tak bisa. Akhirnya saya pergi ke apotek dan membeli obat. Alhamdulillah, obat manjur dan saya terlelap tidur.
Saat bangun, saya kaget bukan kepalang. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB dan sinar matahari yang menembus jendela sudah terang benderang. Artinya, saya ketinggalan momen langka tersebut.
Nasi sudah menjadi bubur, biar enak tinggal ditambah kerupuk. Tidak dapat melihat gerhana matahari total secara langsung, masih ada linimasa yang mampu menyajikannya dari seluruh Indonesia, khususnya #GMT2016 atau #WonderfulEclipse.
Gerhana merupakan fenomena langka dan kesehatan merupakan hal utama dalam hidup. Bagi saya, tidur lebih baik dibandingkan melihat desakan masyarakat mencari foto gerhana. Nanti kondisi badan saya malah drop dan tidak bisa mengikuti lomba ini. Hehehe..
Selamat tidur. Semoga bermimpi melihat Gerhana Matahari Total lagi.
via didikpurwanto.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar