Jumat, 18 September 2015

Pelemahan Rupiah Bukan Krisis

uang-rupiah

Nilai tukar rupiah hingga perdagangan Kamis (17/9) kembali melemah tipis menjadi Rp 14.452 dibandingkan sebelumnya Rp 14.442 per dolar AS. Penurunan mata uang juga dialami ringgit Malaysia dan beberapa negara berkembang lainnya.

Pelemahan rupiah dan ringgit hampir menyentuh level terendahnya pada saat krisis keuangan Asia pada 1997-1998. Namun penurunan mata uang ke level terendah tersebut dianggap tidak memicu krisis.

Kepala ekonom Nomura Securities Co Tomo Kinoshita mengatakan, pelemahan rupiah justru akan membantu peningkatan ekspor. “Hal-hal yang fundamental sekarang berbeda dengan kondisi pada 1997,” katanya.

Pelemahan nilai tukar juga masih diperparah devaluasi yuan China dan di tengah rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Federal Reserve. Kebanyakan negara berkembang di Asia Tenggara justru mendapatkan surplus perdagangan, bukan defisit seperti pada 1990-an.

“Pihak berwenang telah memerkenalkan langkah-langkah kehati-hatian untuk menghindari krisis mata uang. Depresiasi mata uang merupakan faktor positif bagi eksportir dan daya saing di negara-negara Asia,” katanya.

Malaysia dan Korea Selatan telah mendapatkan surplus perdagangan setiap tahun sejak 1998. Cadangan devisa bisa terkumpul serta mampu membiayai impor.

Cadangan devisa Indonesia sudah lima kali lebih besar dibandingkan 1997 dan Thailand enam kali. “Di Asia masih banyak negara yang memiliki cadangan devisa lebih baik sehingga krisis keuangan Asia diperkirakan tak terulang. AS jelas masih kuat dan ini berita baik untuk perekonomian global,” kata Mantan direktur Departemen Asia dan Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) Anoop Singh.

Cadangan untuk kawasan Asia termasuk peraturan perbankan yang diperketat setelah krisis keuangan Asia dan krisis global pada 2007-2009. “Kembali ke belakang, tanpa krisis keuangan Asia, sistem perbankan tak akan sekuat sekarang,” kata Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan.

Kepala ekonom DBS David Carbon menilai, rencana kenaikan suku bunga The Fed memang akan memicu investor asing kabur dari negara berkembang. Namun arus dana keluar dari Asia diperkirakan tak signifikan.

“Aliran dana yang keluar dari Asia beberapa minggu ke depan akan tergantung pada tiga hal yaitu kekuatan ekonomi AS, kelemahan ekonomi China, dan berapa banyak negara Asia yang turun seperti krisis keuangan 1997,” katanya.

 

“Jangan takut. AS tak sekuat yang kita percaya. China juga tak lemah dan Asia hari ini tak terlihat seperti 1997,” katanya.

IMF mengingatkan beberapa negara di Asia Tenggara berada dalam posisi yang lebih baik dari yang lain. IMF mengingatkan masih banyak negara yang memiliki utang perusahaan lebih besar dari Produk Domestik Bruto (PDB) seperti Malaysia dan Thailand.

Di sisi lain, utang perusahaan Malaysia dan Indonesia yang sebenarnya rentan terhadap guncangan justru memiliki posisi yang aman, yaitu 38 persen di Indonesia dan 32 persen di Malaysia. “Tidak ada alasan besar menjadi takut tentang prospek perekonomian Asia. Wilayah ini masih akan tetap aman dan menjadi salah satu yang paling cepat berkembang di dunia,” kata ekonom senior Capital Economics Ltd di Singapura Daniel Martin.

Sumber: Bloomberg



via didikpurwanto.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar