Sejak bekerja di Jakarta, mobilitasku sebagai pekerja mengharuskan keliling di jalan. Namun sistem transportasi massal di Ibu Kota yang tidak kunjung beres mendorongku membeli sepeda motor.
Ini kulakukan agar tidak terjebak macet atau habis waktu hanya di jalan raya. Bagaimana pun, waktu adalah uang. Terlambat sedikit, rezeki bisa hilang.
Sama seperti memilih sepeda motor. Honda sebagai salah satu merek sepeda motor asal Jepang menjadi pilihan masyarakat. Selain harganya relatif lebih murah dibanding kompetitor, Honda juga memiliki teknologi pintar HondaSmartTech dan Enhanced Smart Power (ESP) yaitu peningkatan daya tahan, halus, serta lebih bertenaga.
Namun, sepeda motor yang kubeli bukanlah yang baru. Kebetulan, aku dimutasi kerja di Jakarta mulai Maret 2008 dan tidak membawa bekal apa-apa kecuali satu tas baju dan sedikit tabungan.
Karena belum memiliki banyak tabungan, pilihanku saat itu memilih mencicil sepeda motor baru atau membeli sepeda motor bekas (seken).
Kebetulan, teman sekantor juga sedang mencicil sepeda motor Revo milik Honda. Lumayan saat itu hanya mencicil Rp 300 ribu per bulan. Namun pilihanku saat itu membeli secara tunai saja.
Berbekal pengetahuan teman atau mencari pengetahuan melalui blog, aku akhirnya bertemu dengan satpam kantor yang menawarkan Honda Supra tahun pembuatan 2000. Dia menawarkan saat itu sekitar Rp 3,5 juta.
Beruntung sepeda motor yang aku beli masih memiliki kondisi yang bagus. Mungkin hanya service ringan, ganti oli atau memerbaiki rem yang sudah aus. Tak mengapa.
Temanku saat itu juga sempat mencoba dan bilang mesinnya masih bagus. Beruntung yang punya sebelumnya masih merawat sepeda motor tersebut.
Saat itu, aku sempat menawar Honda seken itu di bawah Rp 3 juta namun satpamku tak mau melepas karena sudah ada yang menawar sekitar Rp 3,5 juta. Daripada diembat orang lain, mending saya membelinya segera.
“Harga sepeda motor Honda meski seken masih tinggi. Beda dengan sepeda motor sebelah,” kata satpam itu.
Dari sisi bahan bakar, Honda termasuk yang paling irit. Sebulan aku hanya menghabiskan paling banyak Rp 100 ribu. Itu pun sudah memakai pertamax. Biar awet mesinnya.
Yang lebih irit lagi, pajak tahunannya juga cuma Rp 160 ribu. Terakhir baru membayar 31 Maret lalu. Irit banget kan?
Sejak itu, saya kemana-mana menggunakan sepeda motor andalanku, mulai urusan kerjaan, jalan-jalan hingga mengurus paspor dan visa. Alhamdulillah, dalam enam tahun terakhir sudah bisa ke Singapura, Shanghai, Hong Kong, Bangkok, Chiang Mai, hingga Malaysia.
Sepeda motor Honda ku juga menjadi saksi mendapatkan gaji bulanan, menyisihkan buat pribadi, orang tua dan membantu kuliah adik yang kebetulan akan wisuda Sabtu (18/4) ini. Alhamdulillah.
Meski sudah terbilang agak lama (karena sudah hampir enam tahun kunaiki, selebihnya dipakai pemilik lama), aku tidak akan menjual Honda Supra ku itu. Mungkin akan kukirim ke kampung halaman di Kediri agar dipakai orang tua.
Tapi setelah adikku wisuda nanti, aku juga ingin membeli Honda Matic Vario 125. Semoga bisa terlaksana.
Impianku yang belum terlaksana hingga kini adalah wisata ke Jepang, termasuk mengunjungi kantor pusat Honda atau membeli Honda Jazz (mobilnya imut, terutama yang warna putih pearl). Semoga. Orang pintar juga harus punya sepeda motor dengan teknologi pintar juga kan?
Its me. What about you?
via didikpurwanto.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar