Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS) Asmono Wikan menyebutkan gempuran media sosial digital dan media online cukup membuat industri cetak (print) terpengaruh.
Hal ini tercatat dari rendahnya pertumbuhan sirkulasi oplah dari
1.100 media di Indonesia pada akhir tahun 2013, yang hanya mengalami
pertumbuhan sebesar 0,25 persen. Angka itu sedikit lebih baik dibanding
pertumbuhan oplah media di Amerika.
Namun, jika dibandingkan dengan negara lain seperti China, India dan
Brazil, pertumbuhan oplah media cetak di Indonesia masih kalah jauh.
"Karena itu media harus meng-update diri di era digitalisasi.
Konsepsi industri print bahwa digitalisasi belum menghasilkan uang harus
dibongkar. Tanpa upgrade dan update, ya repot," ujar Wiskan saat
menggelar konfrensi pers Serikat Perusahaan Pers (SPS) di Bengkulu,
Kamis (6/2/2014).
Dari hasil kajian SPS, perkembangan media cetak di Indonesia memang
mengalami turbulensi yang kuat. Generasi pembaca baru mulai bermunculan,
yakni generasi pembaca yang tidak lagi membaca hal-hal serius, generasi
yang tidak menyenangi kerumitan bahasa di media cetak dan generasi yang
tidak menyenangi tata wajah di media cetak.
"Inilah yang menjadi tantangan bagi industri media cetak saat ini.
Bagaimana media melayani pembacanya menjadi sangat penting. Kalau tetap
ingin bertahan menghadapi konvergensi di era multiplatform saat ini,"
ujar Wiskan.
Dia menuturkan, keberlanjutan hidup dari sebuah media sangat
bergantung dengan kemampuannya menangkap keinginan pembaca. Melalui
penyajian konten berita yang berkaitan dengan kebutuhan pembaca,
diyakini akan tetap menghidupkan industri media, khususnya cetak di
Indonesia.
"Salah satu kuncinya adalah lewat penyajian konten berita. Konten
harus nyambung dengan pembaca, tanpa ini bisa berbahaya bagi media,"
bebernya.
Sumber: Tribunnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar