Senin, 26 Agustus 2013

Urusan Cangkir, Dunkin Donut Akan Tiru Starbucks

Dunkin Donuts telah menjual lebih dari 1,7 miliar cangkir kopi di seluruh dunia setiap tahun. Namun tahukah Anda bahwa cangkir kopi tersebut terbuat dari busa dan saat ini akan dilarang pemakaiannya?

Sebenarnya, sejak tahun 2011 lalu, Dunkin Donuts telah mempertimbangkan untuk menggunakan bahan yang berbeda untuk cangkir tersebut. Juru bicara Dunkin Donuts Michelle King mengatakan, pihaknya sudah menguji cangkir kertas ganda di lima lokasi di Brookline, Massachusetts.

Salah satu alasan Dunkin Donuts mulai mengalihkan dari cangkir berbahan busa menjadi berbahan kertas adalah mulai 1 Desember mendatang, penggunaan busa untuk cangkir akan dilarang di Amerika Serikat. Pelarangan ini akan dimulai di kota New York, Baltimore, Cupertino, California, Portland dan Manhattan.

Dengan pengalihan jenis bahan untuk cangkir ini, Dunkin Donuts bisa dibilang meniru langkah Starbucks yang terlebih dahulu menggunakan cangkirnya berbahan kertas. Cara serupa juga diterapkan oleh restoran cepat saji McDonald yang sudah memulai proyek percontohannya sejak tahun lalu.

"Ini merupakan masalah penting dan rumit dan kami ingin mengambil setiap langkah untuk memastikan bahwa kami mendapat hak ini. Kami bersedia untuk membuat perubahan selama dapat memuaskan pelanggan dan pewaralaba apalagi bisa ramah lingkungan," kata King.

Fakta di lapangan, tidak ada cangkir kopi panas yang mampu dengan mudah untuk didaur ulang. Sebab, cangkir ini ada pelapis yang membuat kopi tetap panas namun tangan pembeli tidak merasa kepanasan saat memegang cangkir tersebut.

Saat ini, Dunkin Donuts sedang membuat proyek untuk membuat cangkir agar tangan pembeli tetap dingin, kopi tetap panas dan cangkir tersebut mudah untuk didaur ulang.

Padahal untuk bahan sebelumnya, cangkir milik Dunkin Donuts ini bisa didaur ulang dan digunakan untuk furnitur, gantungan baju dan casing disket. Masalahnya, tidak semua kota di Amerika Serikat atau bahkan dunia yang menyediakan pendaurulangan bahan dari busa.

Sumber: Businessweek

Tidak ada komentar: