Rabu, 06 Mei 2015

Bolt dan Etika Unlock Modem

Bolt__Rachman-2

Internet saat ini sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Selain kebutuhan sandang, pangan, dan papan, pulsa termasuk untuk internet menjadi kebutuhan yang sudah dianggarkan secara bulanan.

Namun akhir-akhir ini sedang marak kasus unlock modem dan pelakunya sampai dibawa ke kepolisian.

Bolt, merek terdaftar dari PT Internux malah sudah melaporkan Cumi Laut Software Development yang sengaja membuka kunci modem Bolt agar bisa dipakai provider lain.

Secara etika bisnis, unlock modem memang tindakan yang dilarang. Apalagi tindakan tersebut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU terbaru) Pasal 52 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (sebelum Ammandment) Pasal 27.

Hukuman untuk pelaku tercantum dalam Pasal 112 UU no.28 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU no. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan Pasal 72 ayat (8) Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pidana penjara untuk perkara ini paling lama dua tahun.

Sebagai konsumen, tentu menginginkan pelayanan terbaik dan tentu saja dengan harga murah. Saya, karena tergiur promosi gila-gilaan Bolt, ikut membeli modem tersebut. Padahal untuk memakai Bolt harus membeli modem yang pada awalnya memang dijual sekitar Rp 900 ribuan.

Namun secara perlahan mulai turun. Bahkan saya mendapatkan modem yang sudah di-unlock sekitar Rp 399 ribu. Di Kaskus, malah ada yang menjual lebih murah.

Keuntungan modem yang sudah di-unlock adalah bisa dipakai untuk provider lain. Cara ini dianggap lumrah, terutama di Tanah Air, apalagi sinyal Bolt hanya berada di Jabodetabek. Itu pun tidak semua wilayah bisa tercakup.

Misalnya, saat di Bandara Soekarno-Hatta, sinyal Bolt malah tidak ada alias tidak bisa digunakan sama sekali. Saat berada di beberapa gedung tertinggi di Jakarta juga, sinyal Bolt kembali nihil.

Ini menjadi satu alasan unlock modem menjadi salah satu bisnis khusus dan diminati konsumen. Saat pertama kali membeli modem lock, dulu saya harus membayar Rp 150 ribu untuk unlock.

Ini seperti kasus ponsel lock yang hanya dipakai untuk provider tertentu. Bila ingin memakai provider lain tentu harus dibuka kuncinya.

Menurut saya, unlock modem secara etika bisnis memang menyalahi aturan. Namun saat layanan tidak bisa digunakan maksimal, pembeli juga bisa menggugat pemilik bisnis tersebut.

Apalagi saat promosi, Bolt menjanjikan kecepatan tinggi saat mengunggah atau pun mengunduh data. Namun kenyataannya, promosi hanya promosi. Setelah pembeli menikmati awal promosi, kecepatan pun diturunkan dan di beberapa lokasi tidak bisa digunakan.

paket baru bolt

Yang patut disayangkan, tarif Bolt berubah setelah pembelian pulsa setelah pemakaian kartu perdana. Misal kartu perdana dijual paling murah sekitar Rp 70-80 ribu dengan kuota internet sekitar 8GB per bulan. Cukup murah apalagi dengan kecepatan super tinggi.

Namun setelah sebulan habis, paket tersebut berubah. Paketnya pun semakin mini. Kuota internet pun dipangkas. Bonus hanya dipakai malam hari, tidak sepanjang hari pada masa awal promosi. Cek tarif Bolt terbaru di sini. Jangan lupa baca syarat dan ketentuan. Banyak pelanggan melupakan syarat tersebut.

“Kebanyakan pengguna banyak membeli kartu perdana. Setelah habis, buang terus beli kartu perdana lagi. Lebih murah dan efisien. Kuota lebih banyak dan tidak dibatasi waktu,” kata pedagang di Mangga Dua.

Nah, sebagai pengguna tentu harus bijak menggunakan internet. Mau melanggar aturan itu atau lebih menggugat pengurangan layanan serta unlock modem agar tetap bisa dipakai di mana saja.

Untuk yang terakhir, kita juga punya hak memakai layanan internet yang tepat, cepat dan murah. Saat kita punya modem dan ternyata layanan tidak bisa digunakan, lebih baik langsung ganti provider. Itu selama layanan Bolt tidak diubah ke promosi awal. Syaratnya, ya tetap unlock modem itu kalau tidak mau pakai modem lain yang sudah di-unlock.



via didikpurwanto.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar