Pengamat pertanian dari Institute Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, indikasi Indonesia akan krisis pangan adalah mulai membanjirnya produk pangan impor ke pasar domestik. Sementara hasil petani domestik justru kalah bersaing dengan produk impor.
"Impor pangan yang terus meningkat membuat ketergantungan kita semakin tinggi. Sementara harga pangan dunia terus meningkat. Hal itu akan membuat satu titik tertentu kita akan kolaps, mengalami krisis pangan," kata Andreas di Jakarta, Rabu (18/12).
Ia mengkhawatirkan krisis pangan ini akan terjadi dalam waktu dekat karena krisis pangan ini merupakan siklus 10 tahunan sejak era krisis tahun 1997-1998. Saat itu, Australia dan negara penghasil pangan lainnya mengalami kekeringan hebat yang menyebabkan produktivitas pertaniannya menurun. Harga pangan dunia melonjak dan menyebabkan krisis di seluruh negara.
Siklus berikutnya terjadi pada 2007-2008 dengan kejadian yang sama yaitu kekeringan hebat di Australia dan sebagian besar Amerika Serikat. Begitu juga China dan 36 negara di dunia mengalami hal sama.
"Kekhawatiran kami, siklus itu akan berulang di 2017. Kalau pertanian kita anjlok, itu bisa berulang seperti krisis 1997-1998," katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Januari-Juni 2013, volume impor sektor pangan Indonesia terus meningkat. Terbesar di sektor daging ayam dan kedelai yang masing-masing mencapai 826,33 ribu ton dengan nilai impor US$ 509,47 juta, disusul jagung dengan 1,29 juta ton senilai US$ 393,31 juta, beras sebesar 239,31 ribu ton senilai US$ 124,36 juta dan bawang putih sebesar 187,86 ribu ton senilai US$ 144,43 juta.
Dari data Congressional Research Services tahun 2012, Indonesia memiliki jumlah pengeluaran untuk pangan terbesar di dunia sebesar 31,9 persen dari total pengeluaran US$ 1.981. Indonesia hanya lebih baik dibanding Filipina yang mengeluarkan biaya untuk pangan sebesar 36 persen dari total pengeluaran per orang sebesar US$ 1.703.
"Jumlah pengeluaran pangan terkecil di AS yaitu 6,7 persen dari total pengeluaran per orang US$ 33.575," katanya.
Salah satu alasan Indonesia akan siap-siap krisis pangan adalah kebijakan yang salah tentang ketahanan pangan. Berdasarkan data United Nations Development Programme (UNDP), tahun 1960 Indonesia dan negara berkembang lainnya masih mampu menjadi eksportir pangan dan produk pertanian utama.
Di akhir 1980-an terjadi pergeseran peran dan awal 1990-an berubah menjadi importir netto.
"Saat ini 70 persen negara berkembang tergantung impor pangan dan sebaliknya negara maju menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia," katanya.
Andreas menyebut negara-negara berkembang dirugikan sekitar US$ 50 miliar per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertaniannya. Sementara saat ini 90 persen perdagangan dunia didominasi oleh AS, Jepang dan Inggris, baik dalam hal input pertanian, pasar benih hingga benih transgenik.
Di Indonesia, pasar pestisida, benih hingga pupuk pun mayoritas sudah dikuasai asing. Cuma industri pupuk yang masih 70 persen dimiliki oleh perusahaan Indonesia dan sisanya asing.
"Apalagi kalau melihat industri makanan dan minuman di Indonesia yang juga dimiliki asing, mulai dari industri kecap, teh, makanan ringan, susu hingga air minum sudah di atas 60 persen dikuasai asing," katanya.
Solusinya, petani di Indonesia harus bisa berdaulat dan harus mampu meningkatkan produksinya sendiri. Sementara pemerintah pun harus terus berpihak pada kepentingan petani domestik.
"Kalau pemerintah bisa mengubah kebijakan (tidak terlalu impor) dan melindungi petani, kita pun tidak akan ribut impor daging atau kedelai, kita akan bisa swasembada seperti dulu. Itu yang dilakukan pemerintah China. Kalau petani Indonesia, malah dibiarkan sendiri dan pemerintah sibuk impor. Padahal itu kebijakan instan," katanya.
Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini mengatakan, bila pemerintah terus membanjiri dengan kebijakan impor sementara petani dibiarkan bergerak sendiri, maka sebentar lagi petani juga akan tiarap dan segera melakukan urbanisasi.
"Pemerintah belum memihak kepentingan nasional. Kita malah menjadi penyalur aspirasi global di Indonesia," kata Hendri.
Ia menilai kebijakan yang disepakati di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) beberapa waktu lalu pun sia-sia karena sama sekali tidak menguntungkan Indonesia maupun negara berkembang yang selama ini berkontribusi pada pangan dunia.
Padahal Indonesia bersama India seharusnya bisa menggertak negara maju untuk menyepakati bahwa pangan dan industri pertanian bisa dikeluarkan dari WTO. Sehingga kebijakan pangan dan industri pangan ini akan menjadi kebijakan masing-masing negara.
"Kalau mau mengeluarkan sektor pertanian dari WTO, sangat mungkin itu. Indonesia dengan 240 juat penduduk dan India dengan 1,2 miliar penduduk sudah bisa bergerak sendiri. Tapi kan kita tidak bisa melakukan. Malah negara maju ingin Indonesia meninggalkan pertanian (dengan kebijakan impor pangan) dan sekarang itu terbukti," katanya.