Berikut petikan wawancara dengan Direktur Eksekutif Yayasan Danamon Peduli Risa Bhinekawati yang bercita-cita menginginkan Indonesia bebas sampah dan mengubah sampah menjadi berkah. Saya berhasil wawancara beliau pada 31 Desember 2009 di sela kunjungan ke sebuah pasar di kawasan Bogor.
Apa latar belakang Anda tertarik menggeluti bidang sampah terutama sampah di pasar tradisional?
Dari sekian banyak penghasil sampah, pasar tradisional menjadi salah satu tempat produksi sampah dalam jumlah besar. Setiap hari, pasar tradisional di Indonesia menghasilkan ribuan ton sampah. Sebelum diangkut ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA), sampah-sampah tersebut biasanya dibiarkan menumpuk di tempat pembuangan sementara di sekitar pasar. Sehingga membentuk wajah pasar tradisional yang kotor dan bau. Maklum, 70% hingga 90% sampah pasar tradisional adalah bahan organik yang mudah busuk.
Ternyata, jika dikelola dengan baik, sampah yang selama ini menjadi masalah dapat menjelma menjadi berkah. Sampah organik terbukti bisa diubah menjadi pupuk organik (kompos) berkualitas tinggi untuk pertanian.
Kenapa harus menjadi pupuk organik?
Di negara seperti Indonesia yang distribusi pupuk kimia ataupun input pertanian lainnya tidak selalu dapat diandalkan, praktik organik ini akan meningkatkan penghidupan masyarakat pedesaan. Sebelum tahun 1970-an, petani Indonesia telah terbiasa dengan pertanian organik dan berkelanjutan, menggunakan kompos, pestisida alami dan benih indigeneous (asli/murni). Praktik pertanian berubah drastis di tahun 1970-an ketika pemerintah masa itu mencanangkan ‘Revolusi Hijau’ di mana para petani ‘dilatih secara massal’ untuk mengganti praktik pertanian organik menjadi praktik pertanian yang ‘modern’, menggunakan pupuk kimia, pestisida, dan benih modifikasi buatan manusia. Selama beberapa periode, terjadi peningkatan yang signifikan dalam produksi pangan. Namun, mulai pada tahun 2000-an, para petani menyadari bahwa kualitas lahan telah mengalami degradasi yang signifikan. Kualitas tanah di Jawa hanya memenuhi 60% kualitas tanah yang subur. Para petani harus menambahkan semakin banyak pupuk kimia untuk mempertahankan tingkat produksi yang sama. Dosis pemakaian pupuk kimia yang dulu hanya 70kg/Ha pada saat diperkenalkan di tahun 1970-an, kini telah mencapai 1 ton/Ha. Penggunaan pupuk kimia menjadi beban bagi petani, juga mengakibatkan kemiskinan di desa.
Lantas, kenapa harus sampah di pasar tradisional?
Pasar tradisional dan pertanian merupakan pilar perkembangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia terutama masyarakat kecil. Bagi mereka, pasar tradisional bukan hanya sekadar menjadi wadah terjadinya transaksi jual beli berlangsung, melainkan selama berabad-abad turut memegang teguh dan melestarikan nilai-nilai serta interaksi sosial masyarakat. Meningkatkan kondisi kesehatan dan kebersihan pasar tradisional akan membantu mereka bertahan dalam menghadapi persaingan dengan bisnis modern saat ini Sehingga juga akan membantu pelestarian nilai-nilai sosial serta budaya dari komunitas pasar tradisional di Indonesia.
Berdasarkan data Asosiasi Pemerintah Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (APKASI), jumlah pasar tradisional saat ini 13.450 dengan jumlah pedagang sebanyak 12.650.000 di mana sekitar 50 juta jiwa atau 25% rakyat Indonesia menggantungkan kehidupannya kepada pasar tradisional. Jika eksistensi pasar tradisional tidak kita perbaiki bersama, berarti 12,6 juta wirausaha terancam kehilangan pekerjaannya.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena dari penelitian AC Nielsen pertumbuhan pasar modern antara 2004-2006 adalah sebesar 34,1%, sementara pasar tradisional mengalami kemunduran sebesar -8,1%.
Salah satu alasan utama kemunduran itu adalah buruknya kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan pasar tradisional dikarenakan sampah yang tidak terkelola dengan baik.
Sebenarnya program ini seperti apa?
Yayasan Danamon Peduli memberikan bantuan peralatan unit pengolahan sampah pasar menjadi pupuk organik. Alat ini telah mampu mengkonversi 97 ton sampah organik dari pasar menjadi 38,8 ton pupuk organik berkualitas tinggi. Sampai Agustus 2009, Danamon Peduli telah menyelesaikan 28 dari 31 unit kompos. Setiap bulannya program ini mengkonversi 442 ton sampah organik menjadi 103 ton kompos berkualitas tinggi. Sementara kualitas pupuk yang dihasilkan ini juga telah melalui uji laboratorium dan hasilnya telah memenuhi 20 parameter pupuk ideal berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Total investasi sosial yang diberikan Yayasan Danamon Peduli kepada masing-masing bupati / walikota tersebut mencapai Rp100-120 juta. Investasi ini dalam bentuk hibah berupa proyek percontohan sistem pengelolaan sampah terpadu dengan mengkonversi sampah pasar tradisional menjadi kompos berkualitas tinggi, menyediakan desain proyek, bangunan, mesin, pelatihan manajemen dan operasional pembuatan kompos, modal kerja selama satu bulan, uji laboratorium serta pemantauan dan evaluasi.
Nantinya dengan pupuk organik tersebut, pemerintah daerah setempat bisa menjual kembali pupuk organiknya dengan harga lebih murah daripada harga pasar. Biasanya mereka menjualnya kembali sebesar Rp500 per kg. Untungnya, dana ini akan kembali ke pengelola pasar setempat. Bahkan beberapa pengelola pasar juga sudah tidak bergantung lagi dengan Danamon Peduli dan mereka sudah berdikari.
Apakah Yayasan ini dibentuk langsung mengurusi masalah sampah?
Belum. Danamon Peduli memulai kegiatannya pada tahun 2001. Sejak tahun 2004 lebih memusatkan perhatiannya pada program yang dipelopori oleh komunitas (community-driven development) dan proyek-proyek berkelanjutan yang menekankan partisipasi relawan.
Baru pada tahun 2006, Danamon Peduli memfokuskan tiga program utama. Yang pertama memfokuskan pada revitalisasi pasar tradisional (pasar basah) di Indonesia. Kedu,a untuk membantu korban bencana alam. Ketiga, merupakan program baru dan inovatif, bernama ‘Danamon Go Green’, yaitu pihak Yayasan bekerjasama dengan 31 pemerintah daerah untuk mengkonversi sampah organik pasar dari masing-masing pasar basa di wilayahnya menjadi kompos berkualitas tinggi.
Apa yang pertama kali Anda kerjakan waktu itu?
Awalnya, program ini dijajaki sejak bulan Juli 2007 di Pasar Ciputat, Banten, dan berlanjut dengan keberhasilan dua proyek percontohan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sragen, Jawa Tengah. Tahun 2008 program ini telah berjalan di lima kaupaten, yaitu Bantul, Sragen, Wonosobo, Pacitan dan Grobogan. Secara keseluruhan, program ini direplikasi di 31 kabupaten/kota sampai akhir tahun 2009.
Apakah Anda sanggup sendirian mengurusi itu?
Tentu tidak. Kami juga bekerjasama dengan Danamon Simpan Pinjam (DSP) yang merevitalisasi pasar tradisional menjadi Pasarku: Bersih, Sehat, Sejahtera (PBSS). Program itu telah diluncurkan sejak 2004 dan melibatkan hingga 6.771 relawan di tahun 2006. Serta menjangkau 312.284 penerima manfaat di seluruh Indonesia.
Kemudian, di tahun 2007, Yayasan Danamon Peduli melibatkan 11.194 relawan dan mengjangkau 558.785 penerima manfaat di seluruh Indonesia. Melalui kegiatan PBSS tersebutt, 7.000 karyawan yang berada di 700 lokasi cabang DSP menjadi fasilitator bagi para pihak terkait. Seperti pengelola pasar, pedagang, Dinas Perdagangan, Dinas Kebersihan, Dinas Kesehatan, Pemerintah Daerah, LSM Lokal dan pihak-pihak lainnya.
Apakah program itu langsung diterima oleh masyarakat?
Tidak juga. Justru kami telah menyetop program kami dengan pasar di Ciputat Banten. Padahal pasar itu merupakan proyek percontohan pertama kali. Namun karena mereka hanya minta program saja dan tidak bisa berkembang sendiri (termasuk dana saja), maka kami memberhentikan program kemitraan dengan pasar tersebut.
Seperti apa indikasi kesuksesan program tersebut?
Kami mengadopsi metode Balanced Scorecards untuk memantau 14 indikator kesuksesan yang mencakup aspek pemasaran, produksi, kualitas kompos yang dihasilkan, sumber daya manusia, dan komitmen dari pemerintah daerah. Tiap indikator memiliki bobot nilai 7.1%, dan pencapaian pemerintah daerah diukur dengan ‘Seberapa hijaukah mereka?’, yang menggambarkan seberapa baik mereka dalam memenuhi indikator-indikator tersebut.
Setiap bulannya, pemerintah daerah mengirimkan laporan perkembangan yang selanjutnya diolah dalam sistem manajemen pengetahuan Yayasan Danamon Peduli. Kemudian, setiap tiga bulan sekali, Danamon Peduli akan menyampaikan laporan kepada pemerintah daerah untuk memperlihatkan pencapaian mereka dibandingkan dengan yang lain. Mereka dikategorisasikan sebagai ‘hijau tua’ jika mencapai 85% dari indikator, ‘hijau sedang’ untuk pencapaian indikator sebesar 60-80%, dan ‘hijau muda’ apabila indikator yang dicapai kurang dari 60%. Dengan menggunakan sistem pelaporan seperti ini, pemerintah daerah dapat membandingkan pencapaian keseluruhan mereka dengan yang lainnya sehingga mampu mengambil langkah-langkah tindak lanjut sesuai dengan hasil tersebut.
Lantas siapa yang paling jelek itu?
Sudah tahu kan? Pasar Ciputat Banten. Mereka sudah saya drop out (DO). Sehingga harus diganti yang baru.
Unik juga ya?
Iya dong. Saya seperti memiliki 31 mahasiswa di seluruh Indonesia dan saya seolah menjadi kepala sekolah dari 31 mahasiswa itu. Uniknya juga saya memiliki mahasiswa berupa kepala pemkab/pemkot seluruh Indonesia. Kebayang kan susahnya? Tiap tiga bulan pula saya harus memberikan raport dan memberikan penyuluhan. Kalau bagus bisa menjadi contoh yang lain, kalau jelek ya kita DO.
Apakah program ini akan mentok dengan 31 kabupaten saja?
Untuk sementara ya. Karena saya menginginkan kualitas bukan kuantitas. Saya juga ingin mereka berhasil dulu. Jika berhasil, mereka akan menjadi contoh terutama para pemimpin kota/kabupaten lainnya. Sehingga kalau sudah jalan program ini, untuk mereplikasinya ke daerah lain juga makin gampang. Namun saya merencanakan di tahun 2010 akan ada 5 mahasiswa lagi. Tapi semua akan digodok dulu. Kini yang akan masuk adalah kabupaten Pekalongan, Tulungagung dan Minahasa Utara.
Mana saja 31 kabupaten / kota yang telah menerapkan program tersebut?
Di Sumatra ada kota Payakumbuh, Pekanbaru, Tapanuli Selatan dan Tanjung Balai. Sementara Jawa ada Jakarta Pusat, Bogor, Bantul, Sragen, Grobogan, Banjarnegara, Kendal, Purbalingga, Magelang, Klaten, Rembang, Pemalang, Wonosobo, Jepara, Semarang, Temanggung, Pacitan, Bojonegoro, kota Probolinggo dan kabupaten Probolinggo. Sedangkan di Sulawesi adalah Kabupaten Soppeng, Barru, Gowa, Sidrap, Pinrang, kota Bitung dan Palopo.
Apakah sudah ada indikasi kesuksesan yang diterapkan oleh masing-masing pemkab/pemkot atas program ini?
Anda bisa melihat Kepala pemerintah daerah yang peduli seperti Bpk. Idham Samawi, Bupati Bantul dan Bpk. Wiyono, Bupati Sragen yang telah mendukung para petani di wilayahnya untuk kembali kepada pertanian organik. Mereka membantu perbaikan kondisi lahan dengan membangun kapasitas komunitas untuk memproduksi pupuk organik, memperkenalkan kembali pertanian organik dan menyiapkan strategi untuk mendukung petani melewati masa transisi baik dalam hal infrastruktur dan pendanaan. Diperlukan waktu setidaknya 6 kali panen (sekitar 2 tahun) untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dari 1.2 ton/Ha menjadi 200kg/Ha. Kemungkinan diperlukan jangka waktu lima tahun sebelum lahan dapat dijadikan organik sepenuhnya.
Upaya ini telah membuahkan hasil. Petani bawang merah di Bantul telah berhasil menurunkan penggunaan pupuk kimia hingga 70% dalam jangka waktu 2 tahun dengan peningkatan produksi bawang merah sampai 30%. Sragen telah memproduksi beras 100% organik, dengan marjin laba yang lebih baik bagi para petani.
Program ini juga memberikan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat Bantul, dimana 14% tergantung dari pasar tradisional, dan 42% dari pertanian. Selain itu, banyak juga keuntungan berbeda di daerah-daerah lainnya.
Kabarnya program ini menang dalam kompetisi dunia?
Kami mendaftarkan program ini dalam kompetisi di BBC World Challenge 2009. Tanggal 13-17 Juli One Planet Pictures telah datang ke Indonesia untuk mendokumentasikan ‘NOTHING WASTED’ Danamon Go Green yang akan disiarkan oleh BBC World News pada hari Sabtu, 24 Okt jam 21:30 WIB (14:30GMT), Minggu, 25 Okt jam 9:30 dan 16:30 WIB (2:30 dan 9:30 GMT) dan Senin, 26 Okt jam 00.30 WIB (25 Okt 17:30GMT).
Untuk membuat film kompos sampah pasar ’NOTHING WASTED’, Bapak Max Gonzales dari One Planet Pictures melakukan perjalanan ke enam kota di empat provinsi, dan mengambil gambar di 11 lokasi yang berbeda dalam jangka waktu tiga setengah hari (13-17 Juli 2009). Max mewawancara sepuluh tokoh utama dan lebih dari 20 tokoh pendukung, mulai dari Bupati sampai petani dan pedagang pasar.
Ada yang bisa diceritakan dari pembuatan film tersebut?
Sangat melelahkan tapi sangat menyenangkan. Syuting selama tiga setengah hari ternyata cuma nongol di televisi hanya tujuh menit. Syukurnya, kami telah terpilih menjadi salah satu dari finalis yang terseleksi dari 900 program pengembangan masyarakat dunia dan merupakan satu-satunya program yang mewakili Indonesia pada kompetisi tersebut.
Lantas untuk menjadi finalis tersebut, kami harus meraih dukungan melalui voting online di internet mulai 28 September - 13 November 2009 yaitu melalui situs www.theworldchallenge.co.uk.
Saya sendiri mempromosikan program tersebut kepada teman-teman saya melalui situs jejaring sosial Facebook dan situs jejaring lainnya. Bahkan saya membuka buku telepon lama dan menghubungi semua teman-teman lama saya dulu. Beruntung suami dan anak semata wayang juga mendukung. Mereka berdua juga ikut mempromosikan untuk melakukan voting dengan menghubungi teman-teman mereka. Begitu juga dengan media. Akhirnya kami berhasil masuk menjadi 12 finalis dan masuk tiga besar.
Atas pencapaian tersebut, Danamon Peduli melalui program Nothing Waste-nya mendapatkan juara Runner Up I (Juara II) dalam pengumuman di Denhaag Belanda pada 5 Desember lalu. Proyeknya hanya kalah oleh proyek bola lampu dari Srilanka. Dengan penghargaan tersebut, Danamon Peduli berhak membawa dana hibah sebesar USD10.000. Tapi dana tersebut akan dialokasikan kembali untuk mengembangkan manajemen pengetahuan program Danamon Peduli ke depannya.
Apa yang akan Anda lakukan ke depan?
Dalam tahun 2010 ini, kami akan menyelenggarakan pemecahan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk membersihkan 777 pasar tradisional di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut naik daripada pemecahan rekor di tahun 2009 yang hanya 750 pasar tradisional. Selain itu saya juga sedang mengambil beasiswa untuk program PhD di Australia. Rencananya saya akan berangkat pada 7 Januari 2010. Konsennya tetap ke lingkungan hidup. Doakan.
Apa kesan Anda selama ini terhadap program yang telah Anda rancang tersebut?
Saya hanya bisa bersyukur karena saya bisa seperti ini dan bisa bertemu dengan pemimpin lokal yang hebat dan peduli dengan permasalahan di lingkungannya. Tapi Indonesia tidak seakan bermimpi untuk menjadi bangsa yang besar jika mau memulai sesuatu dari hal yang kecil, contohnya sampah. Dengan sedikit upaya tersebut, saya ingin menggemakan ke dunia bahwa Indonesia juga bisa berprestasi. Tidak hanya soal korupsi, polusi, musibah atau hal-hal stereotip negatif lainnya.
Bagaimana Anda mengatur waktu dengan keluarga?
Kebetulan anak semata wayang berada di asrama dan suami bekerja di luar kota. Sehingga hal tersebut menyebabkan kami malah jarang saling bertemu. Tapi di situlah nikmatnya. Kami dituntut untuk saling percaya dan memegang teguh komitmen untuk berkeluarga. Dengan kecanggihan teknologi, kami juga sering berkomunikasi untuk mengobati rasa kangen.
Lantas kapan Anda bisa berkumpul dengan keluarga?
Biasanya di akhir pekan. Tapi keluarga kami cenderung keluarga sederhana. Tidak ada yang serba wah di keluarga kami. Apalagi suami juga tidak terlalu neko-neko. Paling cuma minta dibuatkan teh atau kopi. Kita sudah sadar dengan tugas masing-masing dan sebisanya saling membantu kalau ada kesulitan.
Tidak ada yang mewah, maksudnya apa?
Semua hal terutama materi dan kekayaan. Itulah yang saya tanamkan sedari kecil kepada anak semata wayang. Bahkan saya juga hanya memakai anting yang saya beli di pasar tradisional. Harganya cuma Rp150.000. Anda bisa ngecek kalau tidak percaya. Terlebih lagi jam tangan. Hingga saat ini saya cuma setia dengan jam tangan merk Alba yang harganya juga tidak seberapa. Hal itu saya lakukan karena saya orangnya pelupa. Dan sering pada suatu waktu, saya selalu kehilangan (atau kadang jatuh) baik terhadap anting maupun jam tangan. Sehingga saat perhiasan itu hilang, saya tidak kaget dan bisa beli lagi. Saya juga tidak membayangkan kalau saya punya berlian dan itu jatuh. Malah repot.
Anda juga bisa melihat, baju saya juga cuma batik. Kadang Anda juga bisa melihat pada suatu kesempatan akan menemukan baju batik yang sama. Itu karena saya tidak ribet dalam urusan pakaian. Yang penting nyaman dan murah meriah.
Memang materi itu penting, tapi materi itu bisa dikejar jika punya ilmu. Itu yang saya tanamkan kepada anak saya. Dari awal, memang saya suka menuntut ilmu. Terutama jika ada kesempatan, saya akan langsung mengambilnya. Itu sudah terbukti dari karir saya. Dan mulai awal 7 Januari ini, saya akan mengajak anak semata wayang untuk tinggal di Australia. Kebetulan saya sudah mengusahakan untuk anak saya agar mendapat relationship citizen, yaitu orang tua yang mendapat beasiswa boleh membawa serta anaknya. Di sini anak saya juga akan menuntut ilmu bersama saya. Rencananya saya akan mengambil program doktor PhD selama empat tahun.
Suami tidak diajak?
Tidak, untuk sementara pisahan dulu. Nanti kalau kangen kan tinggal nyebrang. Australia dan Jakarta kan tidak jauh. Tiap hari bisa calling-calling-an kok.
Biodata Pribadi:
Nama : Risa Bhinekawati
Tempat/Tanggal lahir : Pontianak, 4 Februari 1966
Status : menikah; suami: Adhyasa Yutono; anak: Rifqi Satya Adhyasa (14 tahun)
Pekerjaan sekarang : Ketua Umum dan Direktur Eksekutif Yayasan Danamon Peduli (2004-2009)
Sekarang : Melanjutkan beasiswa studi di Australian National University untuk program PhD di bidang lingkungan hidup (mulai 7 Januari 2010)
Pekerjaan sebelumnya:
1.Koordinator Perencanaan Strategis, Academy for Educational Development, Washington DC, Amerika Serikat (August 2006 – March 2007)
2.Kepala Divisi Corporate Affairs, Unilever Indonesia (Desember 2003 – Juli 2005)
3.Chief Operating Officer, Kemitraan bagi Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan, UNDP (United Nations Development Program) Indonesia (Februari 2003 – Oktober 2003)
4.Kepala Direktorat SDM dan Pengembangan Organisasi, PT Ericsson Indonesia (Juni 2001 – Januari 2003)
5.Sekretaris Jenderal, Asosiasi Produsen Serat Sintetis Indonesia (Januari 2000 – Mei 2001)
6.Direktur Eksekutif, Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Januari 1997 – Desember 1999)
7.Senior Commercial Specialist, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta (Maret 1991 – Juni 1996)
Pendidikan:
1.SMA 70, Jakarta (1984)
2.D3 Sekretaris, LPK Tarakanita (1987)
3.Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (1992)
4.MBA, Australian National University, Australia (1999)
5.Master of International Policy and Practice, George Washington University, Amerika Serikat (2006)
Penghargaan:
1.Merdeka Fellowship dari Pemerintah Australia (1998)
2.Merriman Fellowship dari George Washington University (2005)
3.Australian Leadership Award dari Pemerintah Australia (2009)
4.Allison Sudrajat Award dari Pemerintah Australia (2009)
Alamat : Jl. AMD 4B RT 01/07 Sawah Lama, Ciputat Baru, Tanggerang 15413 Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar