Selasa, 02 September 2008

Laskar Pelangi SINDO6

Ini dia nih yang ditunggu!! Film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel berjudul serupa. Kita nobar (nonton bareng-bareng) Premiere di Blitz Megaplex Grand Indonesia bareng anak-anak SINDO khusus Lifestyle. Tapi ada juga anak Sport, Jabodetabek, News dan tetangga sebelah, Okezone ikutan nimbrung. Ga apa-apa!! yang penting kompak. Oh ya, postingan ini sebagai memorabilia perpisahan sementara dengan Oji, temen segenk gw di rubrik Tekno / Gadget!!  Foto ga karuan ini diambil pada 25 September 2008.

Ini adalah resensi dari teman di SINDO.

Soal Ironi, Harapan, dan Perjuangan 
SINDO,27 September 2008


FILM Laskar Pelangibisa menjadi benchmarkbagi sineas Indonesia dalam mengadopsi sebuah novel ke film layar lebar. Tak adil rasanya membandingkan sebuah film dengan novel yang diadaptasinya.


Bagaimanapun, keduanya dalam posisi yang berseberangan. Novel adalah medium katakata, sedangkan film adalah sebuah bahasa gambar. Tapi saat sebuah novel diadaptasi ke film, proses membandingkan adalah sebuah keniscayaan.Untungnya, Andrea Hirata memilih partner yang tepat untuk memfilmkan novelnya. Bersama duo produser-sutradara Mira Lesmana dan Riri Riza,ketiganya bermufakat, tak ada gunanya memfilmkan novel LP jika filmnya sama dengan novelnya.


Dan rasanya tak mungkin pula merangkum novel yang terdiri atas potongan-potongan kisah itu dalam film berdurasi 2 jam. Maka Mira-Riri pun memilih membuatkan struktur cerita baru untuk versi film LP. Cerita dengan alur jelas dan punya dramaturgi kuat. Hasilnya, fokus cerita digeser. Tak lagi sebatas kisah persahabatan dan mimpi besar anakanak Laskar Pelangi dengan latar bumi Belitong yang kaya timah, namun penduduk aslinya tetap miskin. Tapi juga menjadi sebuah kritik sosial terhadap pengelolaan wilayah, serta gambaran ironi pendidikan di Indonesia.


Namun untuk memulai cerita, Mira-Riri, bersama penulis skenario utama Salman Aristo (Jomblo, AAC), tetap patuh pada novelnya dengan menampilkan adegan dramatis; dua guru bersahaja SD Muhammadiyah Gantong,Pak Harfan (Ikranegara) dan Bu Muslimah (Cut Mini) bersama ke-9 calon muridnya,tengah harapharap cemas menanti murid ke-10, sebagai batas minimal jika sekolah yang doyong dan hampir roboh itu tidak mau ditutup.


Saat Harun yang menderita down syndrome akhirnya menjadi murid ke-10,dimulailah perjuangan dan petualangan Pak Harfan,Bu Mus, dan para murid dalam satu-satunya kelas di SD Muhammadiyah Gantong tersebut. Sang guru memerjuangkan sekolah yang ”tidak menilai kecerdasan dari angka-angka saja melainkan dari hati”, sementara ke-10 muridnya ”berjuang untuk berani bermimpi dan menggapai mimpi tersebut”.



Semuanya jadi terasa berat dan penuh onak duri,saat mereka berada dalam posisi masyarakat yang termarginalkan, ditelan hegemoni PN Timah yang mengeruk kekayaan alam Belitong dan tak menyisakan apa pun untuk masyarakat asli di sana. Dengan menggeser fokus cerita, konsekuensinya ialah banyak cerita dalam novel yang hilang, berganti dengan beberapa cerita dan karakter-karakter baru.Tak ada cerita Trapani, bocah paling tampan dalam Laskar Pelangi yang bernasib tragis, kisah ketertarikan berbalut permusuhan antara A Kiong dan Sahara, juga keunikan Syahdan dan Kucai.


Yang tersisa hanya kisah Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian), dan Mahar (Veris Yamarno) yang memang diberi porsi besar di dalam novel dan menjadi motor bagi anak-anak Laskar Pelangi lainnya. Untungnya, semua kehilangan itu terbayar lunas dengan kemampuan Mira- Riri yang mumpuni membaca substansi novel LP: masyarakat yang termarginalkan, harapan, mimpi, dan perjuangan, serta ironi pendidikan di Indonesia.



Miris rasanya saat visual membenturkan jarak kehidupan di dua tempat tersebut dengan latar suara anak-anak yang membacakan Pancasila yang penuh gambaran ideal suatu bangsa. Keduanya kemudian menindih ironi itu dengan keceriaan dan harapan anakanak Laskar Pelangi, untuk kemudian menjatuhkan mereka kembali ke titik nadir saat harus kehilangan tokoh yang menjadi sumber kekuatan dan harapan mereka, hingga akhirnya memunculkan kembali harapan dalam memperjuangkan mimpi tersebut.



Bahkan, saat tokoh Lintang harus mengubur mimpinya, ia sesungguhnya masih bisa meneruskan mimpi itu. Pada akhirnya,film LP tak hanya berhasil menghibur dan mengharu biru penonton,tapi berhasil mengantarkan ruh novelnya ke dalam bentuk visual.(thanks buat herita endriana) 


Selamat menonton ya!! siapkan tissue / sapu tangan untuk menerima tetesan air matamu. Semoga bukan hanya tangisan yang bisa kita berikan. Kata Pak Harlan, siapapun kita, hendaklah berusaha memberi sebanyak mungkin kepada orang lain. Bukan sebaliknya, menerima sebanyak mungkin dari orang lain. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar