Ini dia nih yang ditunggu!! Film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel
berjudul serupa. Kita nobar (nonton bareng-bareng) Premiere di Blitz
Megaplex Grand Indonesia bareng anak-anak SINDO khusus Lifestyle. Tapi
ada juga anak Sport, Jabodetabek, News dan tetangga sebelah, Okezone
ikutan nimbrung. Ga apa-apa!! yang penting kompak.
Oh ya, postingan ini sebagai memorabilia perpisahan
sementara dengan Oji, temen segenk gw di rubrik Tekno / Gadget!!
Foto ga karuan ini diambil pada 25 September 2008.
Ini adalah resensi dari teman di SINDO.
Soal Ironi, Harapan, dan Perjuangan
SINDO,27 September 2008
SINDO,27 September 2008
FILM Laskar Pelangibisa menjadi benchmarkbagi sineas Indonesia dalam mengadopsi sebuah novel ke film layar lebar. Tak adil rasanya membandingkan sebuah film dengan novel yang diadaptasinya.
Bagaimanapun,
keduanya dalam posisi yang berseberangan. Novel adalah medium katakata,
sedangkan film adalah sebuah bahasa gambar. Tapi saat sebuah novel
diadaptasi ke film, proses membandingkan adalah sebuah
keniscayaan.Untungnya, Andrea Hirata memilih partner yang tepat untuk
memfilmkan novelnya. Bersama duo produser-sutradara Mira Lesmana dan
Riri Riza,ketiganya bermufakat, tak ada gunanya memfilmkan novel LP jika
filmnya sama dengan novelnya.
Dan
rasanya tak mungkin pula merangkum novel yang terdiri atas
potongan-potongan kisah itu dalam film berdurasi 2 jam. Maka Mira-Riri
pun memilih membuatkan struktur cerita baru untuk versi film LP. Cerita
dengan alur jelas dan punya dramaturgi kuat. Hasilnya, fokus cerita
digeser. Tak lagi sebatas kisah persahabatan dan mimpi besar anakanak
Laskar Pelangi dengan latar bumi Belitong yang kaya timah, namun
penduduk aslinya tetap miskin. Tapi juga menjadi sebuah kritik sosial
terhadap pengelolaan wilayah, serta gambaran ironi pendidikan di
Indonesia.
Namun
untuk memulai cerita, Mira-Riri, bersama penulis skenario utama Salman
Aristo (Jomblo, AAC), tetap patuh pada novelnya dengan menampilkan
adegan dramatis; dua guru bersahaja SD Muhammadiyah Gantong,Pak Harfan
(Ikranegara) dan Bu Muslimah (Cut Mini) bersama ke-9 calon
muridnya,tengah harapharap cemas menanti murid ke-10, sebagai batas
minimal jika sekolah yang doyong dan hampir roboh itu tidak mau ditutup.
Saat
Harun yang menderita down syndrome akhirnya menjadi murid
ke-10,dimulailah perjuangan dan petualangan Pak Harfan,Bu Mus, dan para
murid dalam satu-satunya kelas di SD Muhammadiyah Gantong tersebut. Sang
guru memerjuangkan sekolah yang ”tidak menilai kecerdasan dari
angka-angka saja melainkan dari hati”, sementara ke-10 muridnya
”berjuang untuk berani bermimpi dan menggapai mimpi tersebut”.
Semuanya
jadi terasa berat dan penuh onak duri,saat mereka berada dalam posisi
masyarakat yang termarginalkan, ditelan hegemoni PN Timah yang mengeruk
kekayaan alam Belitong dan tak menyisakan apa pun untuk masyarakat asli
di sana. Dengan menggeser fokus cerita, konsekuensinya ialah banyak
cerita dalam novel yang hilang, berganti dengan beberapa cerita dan
karakter-karakter baru.Tak ada cerita Trapani, bocah paling tampan dalam
Laskar Pelangi yang bernasib tragis, kisah ketertarikan berbalut
permusuhan antara A Kiong dan Sahara, juga keunikan Syahdan dan Kucai.
Yang
tersisa hanya kisah Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian), dan Mahar (Veris
Yamarno) yang memang diberi porsi besar di dalam novel dan menjadi
motor bagi anak-anak Laskar Pelangi lainnya. Untungnya, semua kehilangan
itu terbayar lunas dengan kemampuan Mira- Riri yang mumpuni membaca
substansi novel LP: masyarakat yang termarginalkan, harapan, mimpi, dan
perjuangan, serta ironi pendidikan di Indonesia.
Miris
rasanya saat visual membenturkan jarak kehidupan di dua tempat tersebut
dengan latar suara anak-anak yang membacakan Pancasila yang penuh
gambaran ideal suatu bangsa. Keduanya
kemudian menindih ironi itu dengan keceriaan dan harapan anakanak
Laskar Pelangi, untuk kemudian menjatuhkan mereka kembali ke titik nadir
saat harus kehilangan tokoh yang menjadi sumber kekuatan dan harapan
mereka, hingga akhirnya memunculkan kembali harapan dalam memperjuangkan
mimpi tersebut.
Bahkan,
saat tokoh Lintang harus mengubur mimpinya, ia sesungguhnya masih bisa
meneruskan mimpi itu. Pada akhirnya,film LP tak hanya berhasil menghibur
dan mengharu biru penonton,tapi berhasil mengantarkan ruh novelnya ke
dalam bentuk visual.(thanks buat herita endriana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar