Btw, ini ada beberapa tulisan yang ketemu di lapak mbah Google. Cekidot gan!!
Artikel ini dimuat oleh Koran Sindo pada Sabtu, 26 Juli, 2008 dan ditulis oleh Didik Purwanto. Baca langsung artikel di Koran Sindo di sini.
Dibalik kemegahannya, Jakarta menyimpan segudang masalah sosial dan lingkungan. Jakarta harus berubah! Dibutuhkan revolusi budaya untuk memperbaikinya.
Memang bukan hal mudah untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik. Namun, itu bukan hal mustahil apabila terdapat seseorang yang berani dan mau menyelesaikan masalah-masalah yang ada seperti kemacetan, polusi udara, gelandangan, pengangguran, dan sebagainya.
Kata orang bijak, mulailah perubahan itu dari diri sendiri, dari hal yang kecil, dan mulai sekarang. Inilah jargon yang sering dikumandangkan, namun hanya sedikit yang mau melakukannya. Contoh paling sederhana adalah nilai kejujuran,keberanian, toleransi, menghargai sesama, disiplin, keimanan, kebersihan, kerja keras, kebangsaan, dan lain-lain.
Daftar nilai-nilai tersebut sudah ”berserakan” di berbagai buku yang mengulas persoalan budi pekerti.Yang terpenting justru pelaksanaannya, integritas pribadi sebagai perwujudan kejujuran, do what you said and say what you meant. Selama ini kita tidak bisa jujur bahkan kepada diri sendiri.
Di tembok sekolah tidak jarang kita saksikan slogan ”kebersihan sebagian dari iman”, tetapi sampah masih terserak di mana-mana. Sebanyak 99% WC di sekolah negeri jorok. Guru-guru pun tidak berkomentar apa-apa. Salah siapa? Jakarta Butuh Revolusi Budaya (JBRB) adalah sebuah komunitas sosial anak muda Jakarta yang peduli terhadap isu-isu yang terjadi di sekitar mereka.
Komunitas ini menyebarkan pesan perihal pentingnya perubahan budaya ke arah positif bagi Kota Jakarta dan sekitarnya. Dibentuk pada 30 Juni 2007, komunitas yang memiliki moto ”Impikan Jakartamu di sini” ini mulai melakukan gerakan nyata tanpa basa-basi atau sekadar cuapcuap. Melalui blog www.jakartabutuhrevolusibudaya. com, JBRB menyebar tulisan hasil pemikiran para kontributor, yang merupakan anggota JBRB sendiri.
Selain itu, dimuat juga tulisan-tulisan para penulis tamu, yaitu para tokoh yang peduli terhadap JBRB di antaranya Harris Iskandar (atase pendidikan dan kebudayaan RI di Washington DC, AS), Jennie S Bev (Pesta Blogger 2007 Celebrity Blogger Award), dan Deden Rukmana (asisten profesor dan koordinator Master’s Program in Urban Studies & Planning di Savannah State University, AS).
”JBRB merupakan perwujudan nyata dari rasa kepedulian kami terhadap Jakarta. Kami yang tergabung di dalam komunitas ini sudah muak dan bosan dengan kondisi Kota Jakarta yang kami saksikan setiap hari,” kata Ketua JBRB Mohamad Rusdi Indradewa, yang juga alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta.
Komunitas JBRB memiliki lima target utama atau tema yang akan dijalankan selama 20 sesi, yaitu menjaga ketertiban, cinta lingkungan, menghargai sesama, membaca itu seru, dan mencintai budaya Indonesia. Sebagai langkah awal, JBRB masih membidik siswa tingkat TK dan SD.Dalam waktu dekat, kurikulum atau modul pelatihan pun bakal disiapkan untuk siswa SMP, SMA, dan umum.
Di tingkat TK dan SD, JBRB menyiapkan modul Berbudaya Itu Seru (Berburu) yang berisi materi, simulasi, permainan, dan diskusi. Sedangkan di tingkat SMP dan SMA, modulnya adalah Berburu Plus yang meliputi materi yang sama, namun dengan penambahan pelatihan motivasi (personal development).
Tak hanya melakukan kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, JBRB lebih menekankan pelatihan ekstrakurikuler yang fun serta metode audio visual yang akan menambah ketertarikan siswa untuk belajar sekaligus berbudaya. Komunitas yang semula bernama More Power Indonesia ini dahulu hanya concern terhadap pelatihan di tingkat mahasiswa.
Setelah mereka lulus, banyak alumnus yang tergerak untuk kembali mengaktifkan komunitas tersebut, meskipun di luar negeri. Alumni yang berada di luar negeri itu kemudian membuat sebuah modul atau kurikulum yang disesuaikan dengan pola pikir masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta.
Hingga saat ini, JBRB sudah memiliki proyek percontohan dan melakukan kegiatan pelatihan revolusi budaya di TK-TK binaan Lembaga Pembinaan Riayatul Ummah serta SDN Selong 01 Pagi Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, setiap Sabtu. Selain divisi-divisi yang bergerak di bidang pendidikan, JBRB mempunyai divisi umum, yaitu divisi dalam komunitas JBRB yang menyelenggarakan penyuluhan, penghijauan, pengecatan zebra cross, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan kontribusi bagi masyarakat di Minggu keempat tiap bulannya.
Pada Minggu kedua tiap bulan, JBRB memiliki program khusus untuk relawan internal dengan mendatangkan pakar-pakar atau narasumber berkompeten yang bisa memotivasi anggota.
”Saat ini relawan JBRB di Jakarta ada 46 orang. Terdiri atas siswa, mahasiswa, dan pekerja yang sangat concern terhadap kondisi pendidikan maupun lingkungan di Jakarta. Komunitas ini terus meluas bahkan hingga ke mancanegara, yakni Sidney (Australia) dan Washington (AS),” tambah Rusdi.
Suatu saat nanti, komunitas ini akan berkembang dan mungkin saja bisa berubah nama menjadi Indonesia Butuh Revolusi Budaya. Saat ini Jakarta hanya menjadi proyek percontohan, karena kota ini dipandang telah memiliki masalah yang kompleks dan butuh penyelesaian. Cabang JBRB ada di Yogyakarta, Surabaya, Sidney, dan Washington.
Bahkan di Semarang dan Padang,ada guru yang sudah mengajukan modul JBRB untuk diberikan kepada siswa-siswanya. Relawan JBRB di mancanegara merupakan alumni More Power Indonesia, plus hasil penjaringan saat sosialisasi bersama konsulat jenderal Republik Indonesia di Amerika Serikat.
Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di negeri Paman Sam. Relawan ini kerap memakai uang pribadi ataupun menyisihkan gaji untuk membantu kas JBRB saat menggelar pertemuan tiap minggu. Saat ini, berkat keikhlasan relawan, JBRB sudah memiliki laptop, in focus atau perlengkapan untuk memberi pelatihan kepada siswa.
”Dalam menggali dana, kami yang di Amerika menjual makanan khas Indonesia kepada mahasiswa. Karena harga yang ditawarkan memang murah meriah, apalagi kami memiliki misi sosial di dalamnya, barang kami pun laris manis,” jelas Cut Reza Rahmadani.
Tujuan Mulia Para Sukarelawan
BEKERJA sebagai sukarelawan JBRB tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain harus mampu melatih anak didik usia pemula agar peduli terhadap lingkungan, di JBRB para sukarelawan juga bisa menuangkan kreativitas sekaligus menyumbangkan ”sesuatu” untuk kota kelahiran mereka.
Anggie Naditha Oktanesya, salah seorang relawan JBRB, aktif di kegiatan non-profit ini sejak Maret lalu. Wanita lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung itu tertarik pada dunia pendidikan dan misi sosial JBRB.
Selain menemukan komunitas berisikan anggota yang nyambungsaat diajak berkomunikasi, Anggie juga merasa menemukan kecocokan dengan mereka. Terutama menyangkut kepedulian terhadap masalah yang terjadi di sekitar tempat tinggal mereka.
Mulai pendidikan, kelestarian lingkungan hidup, masalah sosial, hingga menjadi fasilitator siswa sekolah dasar. ”Rasanya asyik saat saya bisa menjadi fasilitator bagi anak SD. Saya jadi terkenang kenakalan ketika SD dulu dan merasa seru bisa menjadi guru atau lebih tepatnya teman di antara mereka. Padahal, saya tidak punya pengalaman mendidik sama sekali,” ungkap Anggie yang bekerja di sebuah lembaga advokasi masyarakat.
Saat ini Anggie menjadi koordinator tim Berburu SD yang bekerja secara sukarela. Tugasnya menetapkan sekolah mana yang bisa dijadikan proyek percontohan selanjutnya. Setelah sukses menyelenggarakan pelatihan di SDN Selong 01 Pagi, banyak SD di sekitarnya yang merasa iri, ingin mendapatkan pelatihan serupa.
Tak ayal, Anggie yang menjadi ketua tim di antara tujuh anggotanya harus bekerja lebih giat demi menyukseskan program JBRB. Minimal hingga akhir 2008, Anggie punya target bisa merangkul tiga sekolah untuk mendapatkan pelatihan berbudaya dari JBRB.
Relawan lainnya, Cut Reza Rahmadani atau akrab disapa Reza, mulai bergabung dengan JBRB pada September 2007. Wanita kelahiran Jakarta dan peraih gelar sarjana Hubungan Internasional dari Universitas Amerika Washington DC itu tertarik bergabung dengan JBRB berkat informasi teman kuliahnya.
Meski awalnya kagok, tidak tahu harus berbuat apa, Reza yang baru beberapa pekan terakhir kembali ke Jakarta itu tetap serius merumuskan modul pelatihan JBRB. Reza menilai orang Amerika, anak-anak hingga manula, bisa hidup teratur. Ia lalu mengadopsi tingkah laku mereka. Masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta, diolah dan dijadikan modul bersama 11 mahasiswa Indonesia lainnya di Amerika.
Prinsip modul itu cukup sederhana. Yaitu menggabungkan atau mengombinasikan pelajaran yang sudah diterima di sekolah dengan kejadian sehari-hari di rumah. Selain dengan metode diskusi terbuka dan kelompok, modul rumusan JBRB juga memberikan pembelajaran sederhana, seperti sampah.
Reza membuat modul yang bisa dilakukan oleh fasilitator, yaitu pengenalan sampah. Membedakan sampah kering dan basah, bahaya membuang sampah di sembarang tempat, dan lain-lain. Dalam program tersebut, bukan hanya fasilitator yang bertugas sepenuhnya.
Mengingat pelatihan berbudaya ini hanya dilakukan seminggu sekali, peran orangtua yang bisa melakukan pendekatan lebih intens kepada anak harus dimaksimalkan. Caranya dengan membuat program khusus (pekerjaan rumah yang bisa dibawa pada pertemuan satu minggu kemudian) tentang sampah. Orangtua dapat menjelaskan lebih lanjut tentang sampah kering dan basah kepada anak di rumah. Hal ini dilakukan untuk memberi kesamaan pandangan antara anak dan orangtua.
sumber : http://sl-si.facebook.com/note.php?note_id=36980832575